Blog untuk sharing informasi tentang dunia pertanian dalam makna luas dan berkelanjutaan serta artikel menarik tentang seputar teknologi dalam era kekinian dan up to date, email: tampanhorti@gmail.com contack pada +62819107156420 ATAU 081339364013, bloger: Rahmadi Irwinsyah
Senin, Maret 09, 2009
BIOTEKNOLOGI PERTANIAN, HARAPAN BAGI SI MISKIN
UDUL di atas sengaja penulis ambil dari judul laporan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau FAO, yaitu The State of Food and Agriculture 2003-2004: Agricultural Biotechnology, Meeting the Needs of the Poor? Laporan badan dunia yang dilepas pada tanggal 17 Mei 2004 itu langsung menimbulkan kontroversi luas.
FAO dikritik memiliki agenda tersembunyi yang sangat terkait dengan kepentingan perusahaan multinasional (MNC) produsen benih transgenik (simply rubber-stamps the industry agenda, Devinder Sharma). Sebagai catatan, 99 persen tanaman transgenik komersial serta hampir seluruh gen komersial dan metode transformasinya saat ini adalah milik MNC. Lebih lanjut, hari pelepasan laporan tersebut dikatakan sebagai a black day for humanity serta awal dijajahnya petani oleh industri transgenik.
Secara umum laporan FAO tersebut cukup lengkap dan bagus. Laporan diawali dengan kenyataan bahwa 842 juta orang saat ini kekurangan pangan kronis yang sebagian besar menghuni wilayah pertanian dan pedesaan di negara-negara miskin.
Selain kekurangan pangan kronis, miliaran orang menderita defisiensi mikronutrien karena kualitas dan diversitas pangan yang dikonsumsi sangat buruk. Dalam 30 tahun mendatang akan ada tambahan dua miliar manusia yang harus dicukupi kebutuhan pangannya.
FAO lebih lanjut menyatakan bahwa Revolusi Hijau telah mengajarkan kepada kita bagaimana pentingnya inovasi teknologi-benih unggul, pupuk, pestisida, dan mekanisasi pertanian-yang berhasil memberikan keuntungan yang luar biasa bagi si miskin melalui peningkatan efisiensi usaha tani, pendapatan yang meningkat, dan harga pangan yang rendah.
Peningkatan produktivitas, standar kehidupan, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan akibat revolusi hijau telah mengangkat jutaan orang dari belitan kemiskinan.
Persentase populasi yang menderita kekurangan pangan di dunia menurun selama 30 tahun terakhir sejak Revolusi Hijau didengungkan, yaitu dari 28 persen pada periode 1969-1971 menjadi 17 persen pada tahun 1999-2001.
Penurunan persentase kekurangan pangan tertinggi disumbang oleh wilayah Asia Pasifik, yaitu dari 42 persen menjadi 16 persen. Penurunan yang kecil terjadi di Amerika Latin dan Karibia. Di wilayah Afrika Utara dan Timur penurunan persentase populasi yang menderita kekurangan pangan hanya terjadi pada dekade pertama Revolusi Hijau, sedangkan di Sub-Sahara Afrika praktis tidak mengalami penurunan. Jumlah orang yang menderita kekurangan pangan bahkan terus meningkat di kedua wilayah tersebut.
Penurunan persentase yang drastis penderita kekurangan pangan di wilayah Asia Pasifik sangat terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi pada tiga dekade terakhir. Sebagian besar pertumbuhan ekonomi tersebut dipicu oleh pertumbuhan yang tinggi di sektor manufaktur, jasa, (khusus untuk Indonesia) ekspor migas, kayu dan bahan tambang, serta stabilitas wilayah yang tinggi.
Akibat pertumbuhan ekonomi yang meningkat, daya beli masyarakat terhadap pangan meningkat. Selain itu, juga meningkatkan daya beli petani terhadap sarana produksi sehingga produksi pertanian juga meningkat. Melalui logika sederhana tersebut, tampak sisi kelemahan laporan FAO tentang Revolusi Hijau yang sebenarnya dimaksudkan untuk menjustifikasi uraian selanjutnya tentang revolusi gen.
Revolusi gen
Kata "revolusi gen" sengaja digunakan oleh FAO untuk menyatakan bahwa masih ada harapan untuk mengulang "kesuksesan" Revolusi Hijau, dengan cara mengadopsi teknologi terkini di bidang pertanian yang dikenal dengan nama bioteknologi pertanian.
FAO menyarankan ke semua negara di dunia untuk membangun kapasitas, menyusun strategi dan program, serta menerapkan bioteknologi pertanian. Sayangnya dalam laporan tersebut FAO terjebak sehingga bisa diartikan bahwa "bioteknologi pertanian" adalah tanaman transgenik. Padahal, bioteknologi pertanian meliputi juga pengendalian hama terpadu dengan memanfaatkan agen hayati, efisiensi pemupukan dengan memanfaatkan mikrob tanah, teknologi modern pengomposan, dan peningkatan bahan organik tanah serta kultur jaringan.
Beberapa teknologi yang lebih canggih disinggung sepintas dalam laporan FAO, yaitu molecular marker assisted breeding, seleksi in-vitro, pengembangan vaksin dan diagnostik, inseminasi buatan dan multiple ovulation-embryo transfer (MOET) untuk produksi dan pemuliaan ternak, serta chromosome-set manipulation dan sex reversal untuk mengubah kelamin ikan dan peningkatan produktivitas.
Hampir semua uraian dalam laporan FAO tersebut mengulas berbagai keunggulan dan keuntungan bagi siapa pun yang menerapkan tanaman transgenik. Semakin cepat semakin besar keuntungan yang bisa diperoleh. Bahkan, Prof Ingo Potrykus (penemu golden rice) menyatakan siapa pun yang menolak teknologi tersebut dan menyebabkan terhambatnya penerapan tanaman transgenik dituduh sebagai "crimes against humanity".
Dalam laporan tersebut disebutkan, adopsi kapas Bt (produksi Monsanto) di Amerika Serikat telah memberikan keuntungan ekonomi per tahun rata-rata sebesar 200 juta dollar AS hingga 250 juta dollar AS yang terdistribusikan bagi industri sebesar 35 persen, petani 46 persen, dan konsumen 19 persen.
Keuntungan ekonomi penerapan kapas Bt juga didapatkan di Argentina, China, Meksiko, dan Afrika Selatan, yaitu masing-masing sebesar 23, 470, 295, dan 65 dollar AS per hektar per musim tanam.
Kedelai RR (tahan herbisida Roundup Ready, Monsanto) mendulang keuntungan ekonomi pada tahun 2001 lebih dari 1,2 miliar dollar AS. Konsumen diuntungkan sebesar 652 juta dollar AS akibat harga yang rendah, dan Monsanto menerima 421 juta dollar AS sebagai technology revenue.
Petani yang terlebih dahulu menanam kedelai transgenik RR di AS dan Argentina mendapat keuntungan lebih dari 300 juta dollar AS dan 145 juta dollar AS, sedangkan petani di negara yang tidak menanam kedelai RR dirugikan sebesar 291 juta dollar AS pada tahun 2001 akibat menurunnya harga kedelai di pasaran dunia sebesar dua persen.
Dalam laporan juga diulas mengenai potensi keuntungan ekonomi yang akan diperoleh oleh Filipina bila menanam Golden Rice (padi transgenik yang disisipi gen beta-karotin, prekursor vitamin A), yaitu sebesar 137 juta dollar AS. Sebaliknya negara-negara di Afrika Barat akan mengalami kerugian karena tidak mengadopsi kapas Bt sebesar 21 juta dollar AS hingga 205 juta dollar AS setiap tahunnya.
Transgenik
Tidak ada satu kalimat atau satu alinea pun yang menggambarkan hal negatif tentang tanaman transgenik. Dengan demikian, banyak orang menjadi curiga karena laporan menjadi too good to be true, serta menyiratkan agenda tersembunyi di balik itu semua. Entah kebetulan entah tidak laporan tersebut dilepas simultan di Roma, di mana kantor FAO berada dan di Washington, di mana USAID berada. Sangat kebetulan juga laporan berselang tepat satu bulan dengan mulai berlakunya Regulasi Uni Eropa tentang Genetically Modified Food and Feed (EC Regulation No 1829/2003 dan 1830/2003) yang lebih ketat dan berlaku efektif untuk 25 negara di Uni Eropa sejak 18 April 2004.
Sejak beberapa tahun terakhir ini AS mengalami kesulitan besar dalam memasarkan produk transgeniknya terutama jagung dan kedelai. Petani AS kehilangan pendapatan dari ekspor jagung dan kedelai ke Uni Eropa masing-masing sebesar 300 juta dollar AS dan 1 miliar dollar AS per tahun (Santosa, "Biopolitik Pangan, Pertarungan Dua Raksasa", Kompas 13/8/03).
AS kemudian mengadukan masalah tersebut ke WTO. Di sisi lain AS melakukan subsidi besar-besaran terhadap petani mereka yang menyebabkan harga beberapa komoditas di pasar internasional jatuh. Pada tahun-tahun terakhir AS melakukan praktik dumping beberapa komoditas pertanian di antaranya jagung dan kedelai yang menyebabkan penanaman kedelai di Indonesia secara ekonomis tidak lagi menguntungkan karena biaya produksi jauh di atas harga kedelai impor. Indonesia pernah disarankan untuk mengajukan ini ke forum WTO tahun lalu, tetapi tidak ada komitmen pemerintah tentang hal tersebut.
Berita menggembirakan datang dari Brasil yang bulan April lalu melaporkan AS ke WTO karena Pemerintah AS mensubsidi petani kapasnya (sejumlah 25.000 petani) sebesar 3 miliar dollar AS per tahun (80 persen hanya ke 2000 perkebunan besar). Subsidi tersebut telah menyengsarakan 15 juta petani kapas di Afrika, Asia, dan Amerika Latin karena keuntungan mereka menurun tajam yang mendorong mereka ke lembah kemiskinan.
Data-data tersebut di atas bertolak belakang dengan laporan FAO sehingga hari pelepasan laporan tersebut dikatakan juga sebagai a sad day for the global farming community, for democracy and good science. Rekayasa genetika penting, tetapi menjadi berwajah buruk ketika dipromosikan berlebihan sebagaimana dilakukan oleh FAO.
Posted by rahmadi from:
Sumber :
Dwi Andreas Santosa Peneliti Tamu di Center for Molecular Biology, Karlsruhe, Jerman.http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0408/04/ilpeng/1183488.htm
28 Februari 2009
Sumber Gambar :
http://www.indobic.or.id/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar