Minggu, Maret 01, 2009

Memahami Krisis Global

Memahami Krisis Global

by: Rahmadi Abiy Jundi

Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat te­lah berkembang menjadi masalah serius. Gejolak terse­but mulai mempengaruhi stabilitas ekonomi global di beberapa kawasan. Menurut perspektif ekonomi, per­dagangan antar satu negara dengan negara lain saling berkaitan, misalnya melalui aliran barang dan jasa. Im­por suatu negara merupakan ekspor bagi negara lain. Dalam hubungan yang sedemikian, dimungkinkan re­sesi di satu negara akan menular dan mempengaruhi secara global, karena penurunan impor di satu tempat menyebabkan tertekannya ekspor di tempat lain.

Saat ini hampir semua negara-negara di dunia men­ganut sistem pasar bebas sehingga terkait satu sama lain. Aliran dana bebas keluar masuk dari satu negara ke negara lain dengan regulasi moneter tiap negara yang beragam. Akibatnya setiap negara memiliki risiko terkena dampak krisis.

Penanganan dampak krisis membutuhkan regulasi yang cepat dan tepat. Di setiap negara cara penan­ganannya dapat dipastikan akan berbeda, sebagaima­na dampak krisis ekonomi yang juga berbeda. Secara umum, negara yang paling rentan terhadap dampak krisis adalah negara yang fundamental ekonomi do­mestiknya tidak kuat. Lemahnya fundamental ekonomi sebuah negara salah satunya dapat disebabkan oleh kebijakan yang tidak tepat. Salah satunya berkaitan dengan posisi bank sentral yang memiliki kewajiban mengatur kebijakan moneter. Bank sentral tentu akan memiliki kekuatan intervensi dalam mengatasi berbagai permasalahan ekonomi, misalnya kredit macet ataupun gelembung subprime.

Krisis keuangan global yang bermula dari krisis kre-dit perumahan di Amerika Serikat memang membawa implikasi pada kondisi ekonomi global secara menyelu­ ruh. Hampir di setiap negara, baik di kawasan Amerika, Eropa, maupun Asia Pasifik, merasakan dampak akibat krisis keuangan global tersebut. Dampak tersebut ter­jadi karena tiga permasalahan, yaitu adanya investasi langsung, investasi tidak langsung, dan perdagangan.

Pemerintah Indonesia optimistis akan mampu men­gatasi dampak krisis keuangan dunia. Pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen dan keberhasilan pe-nerapan kebijakan di bidang ekonomi yang lain serta pemberantasan korupsi diyakini sebagai fundamental perekonomian negara yang kuat.

Pemerintah juga telah mengeluarkan tiga peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu), yaitu: Perpu No 2/2008 berisi tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU ten­tang Bank Indonesia. Kedua, Perpu No 3/2008 berisi mengubah nilai simpanan yang dijamin Lembaga Pen­jamin Simpanan. Dan ketiga, Perpu No 4/2008 berisi tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

Ketiga peraturan darurat tersebut dikeluarkan untuk mengantisipasi ancaman krisis keuangan global.

Berbagai upaya juga telah diambil. Mulai dari pen­cairan anggaran belanja departemen untuk membantu likuiditas keuangan di masyarakat, dan mengutamaka program untuk rakyat dengan melindungi atas kemung­kinan dampak krisis. Caranya dengan memastikan se­mua program pengentasan kemiskinan tersalurkan dan meningkatkan program-program untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Dalam menghadapi krisis keuangan dan resesi ekonomi global, memang dibutuhkan ketenangan se­mua pihak agar dapat senantiasa berpikir rasional un­tuk mencarikan jalan dan solusi. Meskipun tidak seluruh masalah berada di jangkauan wilayah kebijakan dan wewenang pemerintah, partisipasi dan peran serta se­mua pihak dalam mengatasi dampak krisis keuangan global mutlak dibutuhkan.

EFEK DOMINO

KRISIS KEUANGAN AMERIKA SERIKAT

Krisis keuangan global telah terjadi. Berbagai pihak mengaitkannya dengan kondisi perekonomian negara Amerika Serikat. Ketika kondisi perekonomian sebuah negara adidaya berubah dan mengalami goncangan, dapat dipastikan akan membawa konsekuensi yang luas pada perekonomian dunia.

Media massa di berbagai belahan dunia dengan gencar memberitakan krisis keuangan Amerika Serikat yang telah mempengaruhi tatanan sistem keuangan berbagai negara di benua Amerika, Eropa, Asia Pasifik, Asia Selatan, bahkan Timur Tengah.

Bermula dari Subprime Mortgage

Sejak tahun 1925, di Amerika Serikat sudah ada Un­dang-undang Mortgage. Peraturan yang berkaitan den­gan sektor properti, termasuk kredit pemilikan rumah. Semua warga AS --asalkan memenuhi syarat tertentu-- bisa mendapatkan kemudahan kredit kepemilikan prop­erti, seperti KPR.

Kemudahan pemberian kredit terjadi ketika harga properti di AS sedang naik. Kegairahan pasar properti membuat spekulasi di sektor ini meningkat. Para pe­nyedia kredit properti memberikan suku bunga tetap se­lama tiga tahun. Hal itu membuat banyak orang mem­beli rumah dan berharap bisa menjual dalam tiga tahun sebelum suku bunga disesuaikan.

Permasalahannya, banyak lembaga keuangan pemberi kredit properti di Amerika Serikat menyalurkan kredit kepada penduduk yang sebenarnya tidak layak mendapatkan pembiayaan. Mereka adalah orang den­gan latar belakang non-income non-job non-activity (NINJA) yang tidak mempunyai kekuatan ekonomi un­tuk menyelesaikan tanggungan kredit yang mereka pin­jam.

Situasi tersebut memicu terjadinya kredit macet di sektor properti (subprime mortgage). Selanjutnya, kre-dit macet di sektor properti mengakibatkan efek domino ambruknya lembaga-lembaga keuangan besar di Amer­ika Serikat. Pasalnya, lembaga pembiayaan sektor properti pada umumnya meminjam dana jangka pendek dari pihak lain, termasuk lembaga keuangan. Jaminan yang diberikan perusahaan pembiayaan mirip subprime mortgage securities, yang dijual kepada lembaga-lemba­ga investasi dan investor di berba­gai negara. Padahal, surat utang itu ditopang oleh jaminan debitor yang kemampuan membayar KPR-nya rendah.

Dengan banyaknya tunggakan kredit properti, perusahaan pembi­ayaan tidak bisa memenuhi kewa­jibannya kepada lembaga-lembaga keuangan, baik bank investasi maupun asset manage­ment. Hal itu mempengaruhi likuiditas pasar modal maupun sistem perbankan.

Setelah itu, terjadi pengeringan likuiditas lembaga-lembaga keuangan akibat tidak memiliki dana aktiva un­tuk membayar kewajiban yang ada. Ketidakmampuan bayar kewajiban tersebut membuat lembaga keuangan lain yang memberikan pinjaman juga terancam bang­krut.

Kondisi yang dihadapi lembaga-lem­baga keuangan besar di Amerika Ser­ikat juga mempengaruhi likuiditas lem­baga keuangan lain, yang berasal dari Amerika Serikat maupun di luar Amerika Serikat. Terutama lembaga yang meng­investasikan uangnya melalui instrumen lembaga keuangan besar di Amerika Serikat. Di sinilah krisis keuangan global bermula.

Untuk menghindari meluasnya kri­sis subprime mortgage dan membawa dampak buruk terhadap perekonomian Amerika Serikat, pemerintah Amerika Serikat dan Bank Sentral Amerika (The Fed) mengeluarkan kebijakan untuk membantu beberapa lembaga-lembaga keuangan besar tersebut. Rangkaian tindakan antisipasi di Amerika Serikat telah dimulai pada tanggal 5 September. Saat itu, pe­ Fannie Mae dan Freddie Mac untuk penyehatan arus kas dua perusahaan tersebut.

Selanjutnya, pada tanggal 16 September The Fed mengucurkan pinjaman USD 85 miliar ke American International Group untuk mengambil alih 80 persen saham perusahaan asuransi tersebut.

Pada tanggal 18 September 2008, Pemerintah AS meminta Kongres untuk menyetujui paket penyelama­tan ekonomi, berupa dana talangan pemerintah (bail­out) USD 700 miliar. Presiden George Bush menyata­kan perekonomian AS dalam bahaya jika Kongres tidak menyetujui rencana bailout.

Meskipun demikian, tanggal 29 September 2008, Kongres AS menolak rencana bailout. Akibatnya, In­deks Dow Jones merosot 778 poin, posisi yang terbe­sar dalam sejarah pasar saham di Amerika Serikat.

Akhirnya tanggal 3 Oktober 2008, Kongres me-nyetujui bailout. Selanjutnya, Presiden Bush menan­datangani UU Stabilisasi Ekonomi Darurat 2008. Un­dang-undang yang memuat rencana pengucuran dana talangan pemerintah (bailout) sebesar USD 700 miliar untuk mengambil alih beberapa perusahaan dan lem­baga keuangan yang merugi di pasar modal AS.

Krisis Keuangan AS yang Mengglobal

Masalah subprime mortgage di Amerika Serikat sebenarnya sudah mulai terlihat sejak Agustus 2007. Hal itu sudah ditengarai akan menjadi gelembung sub­prime (bubble), akan tetapi pemerintah Amerika Serikat terus mengucurkan uang dan menurunkan suku bunga untuk mengangkat sektor industri teknologi yang men­galami penurunan.

Usaha Pemerintah AS dengan mengucurkan dana talangan pemerintah sebesar USD 700, hanya semen­tara saja dapat meredam gejolak pasar. Pasalnya, ma-yoritas investor di seluruh dunia terpaksa menjual por­tofolio saham yang dimiliki secara besar-besaran untuk menutupi kebutuhan likuiditas sehingga mengakibatkan terhempasnya pasar modal dunia.

Upaya tersebut sekaligus dikemas dalam kebijakan moneter untuk menekan angka inflasi serta menstabil­kan nilai tukar mata uang dolar Amerika Serikat. Secara khusus di Wall Street, mayoritas investor yang mengalami kerugian pada saat indeks saham jatuh 777,7 poin --akibat penolakan bailout oleh House of Representa­tive--, ikut juga menjual portofolio yang ditanam di berbagai negara, ter­masuk di Indonesia.

Pada tanggal 10 Oktober, indeks bursa berbagai negara kembali jatuh, sehingga sepuluh bank sentral dari berbagai negara menurunkan suku bunga agar beban utang para inves­tor yang merugi tidak semakin besar.

Hingga Agustus 2008, dampak kri­sis mengakibatkan jumlah pengang­gur di Inggris melejit menjadi 1,79 juta orang atau 5,7 persen dari angkatan kerja. Menurut International Labour Organization, inilah tingkat pengang­guran terparah sejak Juli 1991. Semua sinyal itu menunjukkan perekonomian Ing­gris sedang mengarah ke resesi. Dana Moneter In­ternasional (IMF) meramalkan pertumbuhan ekonomi negeri Ratu Elizabeth itu tahun depan bakal minus 0,1 persen.

Gelombang krisis ekonomi juga telah melanda neg­ara-negara Eropa Timur. Kredit yang dulu begitu mudah didapatkan di pasar keuangan sekarang sudah mulai susah didapatkan.

Ukraina sudah mengajukan proposal pinjaman ke Dana Moneter Internasional sebesar USD 14 miliar untuk menjaga likuiditas perbankan. Hungaria bahkan sudah memiliki utang dari Bank Sentral Eropa USD 6,7 miliar.

Sementara itu, Dana Moneter Internasional mem­perkirakan Estonia dan Latvia akan menjadi korban ter­parah. Pertumbuhan ekonomi Estonia tahun ini diper­kirakan minus 1,5 persen dan tahun depan 0,5 persen.

Ekonomi Latvia, negara di Laut Baltik, tahun ini bakal minus 0,9 persen dan pada 2009 minus 2,2 persen. Be­berapa negara lain yang mengandalkan pendapatan dari minyak bumi atau gas, seperti Rusia, juga terpukul akibat kejatuhan harga komoditas tersebut.

Melihat situasi tersebut di atas, krisis keuangan yang menimpa Amerika Serikat dengan cepat merembet ke seluruh dunia. Setiap pemerintahan berusaha mence­gah agar krisis tidak semakin dalam melumpuhkan per­ekonomian negara masing-masing.

Dampak Krisis di Beberapa Kawasan

Dampak krisis ekonomi berbeda di setiap negara akan berbeda karena perbedaan kebijakan yang di­ambil dan fundamental ekonomi negara bersangkutan. Tentunya, negara yang paling rentan adalah negara yang fundamental ekonomi domestiknya tidak kuat.

Kuatnya dampak krisis ini pun telah menyebabkan Bank Dunia dan IMF mengoreksi proyeksi tingkat per­tumbuhan ekonomi berbagai negara dan dunia.

Perekonomian AS, misalnya, diprediksi akan me­lemah menjadi tumbuh sebesar 1,3 persen pada 2008 dari sebelumnya sebesar 2,7 persen pada 2007. De­mikian pula, negara-negara di kawasan Eropa, dipredik­si akan melemah dari 2,6 persen pada 2007 menjadi 1,4 persen pada 2008. Adapun laju pertumbuhan Indonesia diperkirakan turun dari 6,5 persen 2007 menjadi sekitar 6,0 persen pada 2008 (IMF, 2008).

Contoh beberapa negara yang relatif terpengaruh dampak krisis keuangan global di beberapa kawasan, dapat diuraikan sebagai berikut:

Kawasan Eropa

Salah satu negara yang saat ini terkena dampak krisis finansial AS cukup parah adalah Islandia. Sebe­lumnya, Islandia berada di tingkat ke 4 negara termak­mur dengan GNP per kapita sekitar USD60,000 (IMF, 2008).

Setelah krisis mata uang Islandia, Krona, terdepre­siasi hingga 30 persen. Sementara itu, bank sentral Islandia tidak mampu menjamin simpanan masyarakat disebabkan utang luar negeri perbankan swasta yang besarnya 11 kali lipat dari PDB negara itu.

Sebelum krisis, Bank Sentral Islandia menjalankan kebijakan inflation targeting yaitu menaikkan suku bun­ga apabila inflasi di atas target dan menurunkannya di saat inflasi berada di bawah target.

Kebijakan tersebut umumnya berhasil diterapkan pada negara-negara besar, tapi tidak tepat untuk nega­ra kecil seperti Islandia. Selama kebijakan tersebut ber­langsung, tingkat inflasi berada di atas rata-rata target inflasi dengan suku bunga yang mencapai lebih dari 15 persen.

Di negara kecil seperti Islandia, suku bunga yang tinggi merangsang perusahaan domestik dan rumah tangga untuk meminjam dalam mata uang asing. Hal tersebut jelas menarik minat spekulan valuta asing, seh­ingga menyebabkan besarnya arus masuk valuta asing yang mengakibatkan tajamnya perbedaan nilai tukar valuta asing.

Para spekulan dan debitor juga mendap­atkan keuntungan besar dari selisih suku bun­ga di Islandia dan luar negeri. Sama halnya dengan keuntungan yang diraih dari selisih nilai tukar Krona dengan mata uang asing lainnya. Hal tersebut juga mendorong pertumbuhan ekonomi semu dan meningkatkan laju inflasi.

Hasil akhirnya, adalah “balon-balon” ekonomi yang diakibatkan oleh interaksi suku bunga domestik dan banyaknya arus masuk mata uang asing ke Islandia. Perbedaan nilai tukar Krona Islandia yang jauh dari fun­damental ekonomi realistis mengakibatkan menurunnya nilai mata uang tersebut. Bank Sentral Islandia gagal untuk mencegah naiknya nilai tukar dan gagal untuk menin­gkatkan cadangan devisa mer­eka.

Keadaan ini diperparah den­gan utang luar negeri bank-bank swasta yang terlalu besar, sehingga Bank Sentral Islandia tidak mampu lagi memberikan jaminan atas aset-aset bank tersebut maupun memberikan jaminan likuiditas. Berbeda dengan negara Eropa lainnya yang masih mampu men­jamin simpanan masyarakat pada level tertentu.

Kawasan Asia Pasifik

Sistem pasar bebas membuat negara-negara di ka­wasan Asia Pasifik pun terkena dampak krisis keuan­gan global tersebut. Salah satu dampak tersebut bisa muncul melalui financial market.

Cadangan devisa USD 1 triliun tak menjamin Jepang bebas dari krisis finansial global. Pasar saham di Negeri Matahari Terbit itu juga terkena dampak krisis keuangan global. Ketika investor panik, akhirnya indeks saham Nikkei turun hingga 11,4 persen, penurunan terbesar sejak 1987.

Sejak awal Oktober 2008, indeks saham di Negeri Sakura sudah terkoreksi sekitar 20 persen. Hal yang sama juga terjadi di hampir semua pasar modal di Asia. Selama sepekan, indeks Hang Seng Hong Kong su­dah turun 10,78 persen. Indeks Strait Times Singapura terkoreksi 9,53 persen dan Indeks Kospi Korea turun 8,37 persen.

Dampak lain yang bisa dilihat adalah anjloknya nilai ekspor negara-negara Asia. Contoh paling dekat ada­lah perekonomian Singapura dan Hongkong. Singapura dan Hongkong dapat terpengaruh besar, karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya rak­sasa-raksasa keuangan dunia.

Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke Amerika Serikat

Laporan kuartal IV-2007, ekonomi Singapura yang biasanya tumbuh sekitar 9 persen, anjlok ke 6 persen. Itu menunjukkan kemerosotan ekonomi Amerika ber­dampak terhadap negara-negara Asia lainnya.

Bahkan ekonomi Cina, yang dianggap memiliki kekebalan terhadap resesi negara lain, juga terkena im­bas. Indeks Shanghai anjlok dan mulai mengantisipasi penurunan ekspornya ke AS dengan mengalihkan ke pasar regional tentunya termasuk Indonesia.

Tentu dibutuhkan kebijakan yang tepat bagi kita un­tuk mempertahankan pertumbuhan ekspor. Di samping itu, bagi negara-negara lain, perlu juga mewaspadai adanya kemungkinan membanjirnya produk Cina aki­bat tidak terpenuhinya pasar ekspor mereka di Amerika Serikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar