Rabu, Desember 23, 2009

BIOPESTISIDA DARI TANAMAN BIOFARMAKA

Manfaatkan tanaman biofarmaka (tanaman obat) untuk mengendalikan OPT. dengan mengolah jadi biopestisida (pestisida nabati). Lebih menguntungkan, produk aman dikonsumsi, kelestarian lingkungan terjaga. Pengolahannya mudah, bahannya banyak tersedia di sekitar lingkungan.

Menambah manfaatnya yang selama ini digunakan untuk pemelihara kesehatan dan kebugaran, pengobatan alternatif, kosmetika perawatan kecantikan, makanan penguat dan makanan tambahan maupun bahan pembuatan parfum.


Penggunaan biofarmaka sebagai biopestisida untuk mengendalikan OPT sangat potensial. Sayang masih jarang digunakan petani. Padahal penggunaan biopestisida untuk mengendalikan OPT ini dalam beberapa hal lebih menguntungkan dibanding penggunaan pestisida. Keuntungannya, antara lain produk tanaman lebih aman dikonsumsi, kelestarian lingkungan dan sistem produksi pertanaman yang berkelanjutan lebih terjamin.

Apalagi Indonesia memiliki jenis biofarmaka tidak kurang dari 7.000 spesies, yang baru sekitar 300 (4,5%) yang telah diolah dan dimanfaatkan, di mana dari 300 spesies ini baru sekitar 50 jenis tanaman yang dibudidayakan, sedang selebihnya masih dipanen dari alam.

Jenis OPT dan Jenis Tanaman Biofarmaka
Jenis OPT yang dapat dikendalikan dengan biopestisida antara lain : (1) Hama secara umum; (2) Hama Trips pada cabai; (3) Hama belalang dan ulat; (4) Hama wereng coklat dan penggerek batang (5) Hama dan penyakit pada tanaman bawang merah; dan (6) Hama tikus. Sedang jenis tanaman biofarmaka antara lain tergantung dari jenis OPT-nya. Ada pun cara mengendalikannya sebagai berikut :

1. Hama Secara Umum
Siapkan daun mimba (Azadirachta indica) 8 kg, lengkuas 6 kg, serai 6 kg, diterjen/sabun colek 20 kg dan air 80 liter. Bagian tanaman ini ditumbuk halus kemudian dicampur diterjen/sabun colek. Setelah itu masukkan 20 liter air dan diaduk sampai rata. Adonan ini diamkan selama 24 jam kemudian disaring dengan kain halus dan hasil saringannya diencerkan dengan 60 liter air. Larutan ini sudah dapat digunakan untuk mengendalikan hama seluas ± satu hektar lahan tanaman.

2. Hama Trips pada Cabai
Daun sirsak (Annona muricata) 50–100 lembar setelah ditumbuk halus kemudian dicampur dengan 15 gr detergen/sabun colek. Masukkan air 5 liter dan diaduk sampai rata. Setelah didiamkan selama 24 jam kemudian disaring dengan kain halus.

Apabila larutan akan digunakan, setiap satu liter larutan diencerkan dengan 10-15 liter air kemudian disemprotkan ke seluruh bagian tanaman cabai yang terserang hama Trips.

3. Hama Belalang dan Ulat
Daun sirsak (Annona muricata) 50 lembar dan daun tembakau (Nicotiana tabacum) satu genggam ditumbuk halus. Setelah itu, tambahkan 20 gram diterjen/sabun colek dan 20 liter air kemudian diaduk sampai rata. Setelah adonan ini didiamkan/diendapkan selama 24 jam kemudian disaring dengan kain halus.

Jika larutan tersebut akan digunakan, encerkan dulu dengan 50-60 liter air lalu semprotkan pada tanaman yang terserang hama belalang dan ulat.

Sumber : www.sinartani.com

IP Padi 400 untuk Penuhi Kebutuhan Pangan

Memenuhi kebutuhan pangan yang terus tumbuh selaras dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,36% per tahun, bukanlah pekerjaan mudah. Berkaitan dengan hal tersebut Badan Litbang Pertanian memperkenalkan program Indeks Pertanaman (IP) Padi 400 dengan menggunakan dua strategi yaitu rekayasa sosial dan rekayasa teknologi.


Tekanan sistem produksi padi semakin lama semakin berat dan komplek sehingga memerlukan terobosan spektakuler non konvensional untuk mempertahankan kapasitas sistem produksi padi nasional sampai dengan tahun 2020. Konsep IP Padi 400 ditujukan untuk optimalisasi ruang dan waktu, sehingga indeks pertanaman dapat dimaksimalkan. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengintegrasikan dan mensinergikan antara bioteknologi dan hibridisasi konvensional yang didukung oleh sistem perbenihan yang handal. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan benih padi ultra genjah (< 90 hari) sebagai instrumen utama yang didukung efisiensi waktu tanam dan panen. Saat ini telah tersedia padi umur sangat genjah (90-104 hari) seperti varietas Dodokan, Silugonggo dan Inpari 1.

Dua strategi yang perlu diterapkan pada IP Padi 400 adalah pertama rekayasa sosial. dan rekayasa teknologi. Rekayasa sosial perlu ditangani lebih awal, mengantisipasi perilaku para petani yang belum terbiasa melaksanakan IP Padi 400. Perlu berbagai upaya rekayasa sosial yaitu (a) advokasi (b) pengorganisasian komunitas petani (c) pengembangan jaringan untuk menjalin kerjasama (d) pengembangan kapasitas dengan meningkatkan kemampuan masyarakat dan (e) pengembangkan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi).

Strategi kedua, yaitu Rekayasa Teknologi dengan menggunakan varietas unggul yang berumur sangat genjah (90-104 hari), berproduksi tinggi, teknologi hemat air, tanam benih langsung, persemaian culikan, serta pengembangan sistem monitoring dini (sebelum tanam, saat persemaian, saat ada padi dipertanaman dan sesudah panen).

Program IP Padi 400 dicapai melalui empat tahap yaitu : (1) Tahap Rancang Bangun dan Penelitian (2008-2014) yang bertumpu pada perakitan padi umur ultra genjah (varietas padi umur kurang dari 90 hari); (2) Tahap Uji Lapang dan Sosialisasi (2009-2010); (3) Tahap Pengembangan (2011- dst) yang akan diterapkan pada lahan sawah seluas 1,5 juta ha; dan (4) Tahap Evaluasi dan Pemantapan (2010-dst).

Saat ini IP Padi 400 telah memasuki tahap uji coba yang dilaksanakan mulai Musim Hujan II 2009 (Januari/Februari 2009) sebagai musim tanam II (MT II) yang dilaksanakn di beberapa Kebun Percobaan yang berlokasi di Pusakanegara (Sukamandi), Muara (Bogor), Maros (Sulsel), Kendalpayak (Malang) dan Pasarmiring (Sumut).

Sumber : http://www.litbang.deptan.go.id/

Senin, Desember 21, 2009

BUDIDAYA ORGANIK

Pengertian

Budidaya organik dapat diartikan suatu sistem produksi pertanaman yang

berasaskan daur ulang hara secara hayati. Menurut Herwood (cit. Papendick & Elliott,

1984) ada tiga ragam pendauran hara yang diminati petani budidaya organik. Ragam

pertama ialah pendauran hara di dalam usahatani dengan sumber-sumber yang berasal dari

luar usahatani. Ragam kedua ialah pendauran hara di dalam usahatani dengan sumbersumber

yang berasal dari usahatani sendiri berupa sisa pertanaman. Ragam ketiga ialah

pendauran hara di dalam petak pertanaman.

Pendauran ragam pertama berguna menambahkan hara kepada tanah dan luar

usahatani. Bahan-bahan yang digunakan ialah sampah permukiman, limbah rumah tangga,

atau limbah industri. Cara ini mirip dengan pemupukan konvensional dengan pupuk

kimiawi buatan. Namun ada perbedaan besar dalam hal daya pengaruh dan

konsekuensinya. Pupuk kimiawi buatan memasok hara tertentu berupa senyawa anorganik

berkadar tinggi dan mudah larut. Bahan organik memasok berbagai macam hara terutama

berupa senyawa organik berkadar rendah dan tidak mudah larut. Disamping itu senyawa

organik berdaya membenahi perilaku fisik dan fisika kimia tanah serta menyehatkan

kehidupan flora dan fauna tanah. Pendauran ragam kedua dapat diliwatkan ternak atau

pengomposan. Cara ini tidak menambahkan hara kepada tanah, hanya mengembalikan hara

yang tidak terangkut ke luar bersama dengan hasilpanen. Kandungan hara dalam tanah

secara berangsur tetap berkurang karena setiap kali ada yang terbawa ke luar bersama

dengan hasilpanen. Kegunaannya ialah memperpanjang umur produktif tanah.

Pengembalian sisa pertanaman liwat pencernaan ternak atau pengomposan berdaya

memperbaiki mutu bahan organik dan segi fisik, kimia dan biologi.

Pendauran ragam ketiga biasanya melibatkan tanaman legum untuk memenuhi

bagian basar atau seluruh kebutuhan hara N pertanaman pokok. Dalam hal ini terjadi

penambahan hara N dari luar, yaitu dari atmosfer. Tanaman legum dapat ditanam secara

bergilir atau berseling dengan pertanaman pokok di petak yang sama, atau ditanam berjajar

dengan pertanaman pokok di petak yang terpisah menurut sistem pertanaman lorong (alley

cropping). Yang ditanam secara bergilir atau berseling dengan pertanaman pokok dapat

berupa tanaman legum yang sekaligua juga menghasilkan komoditas penting (kedelai,

kacang tanah), atau tanaman legum yang khusus menghasilkan pupuk hijau. Yang ditanam

dengan sistem pertanaman lorong adalah legum pohon yang dipungut daunnya untuk

pupuk hijau atau mulsa. Legum pohon memberikan keuntungan tambahan berupa kayu

bakar. Pupuk hijau dan t.anaman lorong menambahkan hara dari petak lain ke petak

pertanaman pokok.

Ciri lain dari budidaya organik ialah penggunaan pipuk hayati (biofertilizers).

Pupuk hayati ialah sediaan organik yang peran ameliorasinya barasal dari kandungan jasad

renik aktif. Pupuk hayati dipilahk:an menurut macam unsur hara yang ditanganinya. Salah

satu pupuk hayati N yang sudah dikenal baik di Indonesia ialah inokulum Rhizobium

untuk kedelai. Pupuk hayati N yang lain ialah sediaan jasad renik penambat N2 udara nonsimbiotik

(Azotobacter, Azospirillurn). Pupuk hayati P ialah sediaan jasad renik pelarut

fosfat (Pseudomonas, Bacillus, Aspergillus, Penicillium) yang berguna meningkatkan

kadar P tersediakan dalam tanah atau meningkatkan keterlarutan P dalam pupuk fosfat

alam. Inokulum mikorisa sering juga digolongkan dalam pupuk hayati P karena dapat

melancarkan serapan P oleh tanaman. Sebetulnya peranan mikorisa lebih luas. Mikorisa

juga berdaya meningkatkan serapan hara mikro Zn dan Cu serta meningkatkan

kemampuan tanaman menyerap air. Fungus ini juga berguna melawan peracunan tanaman

oleh unsur-unsur logam berat, a.l. Mn dan Cd (Anon., 1990). Ada yang memperkirakan

mikorisa dapat memperluas sistem perakaran tanaman sampai 1000 x. Maka mikorisa juga

berkemampuan mengurangi kerentanan tanah terhadap erosi.

Pupuk hayati C ialah inokulum untuk mempercepat pengomposan dan

memperbaiki mutu kompos (Trichoderma). Penelitian di Thailand membuktikan bahwa

pengomposan dengan cara ini memperbaiki ketersediaan N dalam bahan organik dan

pemberian komposnya kepada tanah meningkatkan N tersediakan dalam tanah (Anon.,

1990). Kompos yang dibuat dengan cacing tanah (vermicompost) akhir-akhir ini medapat

perhatian luas sebagai pupuk hayati penting. Penebaran biakan cacing tanah dalam tanah

dapat memperbaiki sifat fisik dan kimiawi tanah serta dapat memacu kegiatan jasad renik

tanah.

Kegunaan

Kegunaan budidaya organik pada dasarnya ialah meniadakan atau membatasi

keburukan budidaya kimiawi dan risiko yang ditimbulkannya. Hal itu mencakup:

1. Menghemat penggunaan hara tanah, berarti memperpanjang umur produktif tanah

2. Melindungi tanah terhadap kerusakan karena erosi dan mencegah degradasi tanah

karena kerusakan struktur (pemampatan)

3. Menghindarkan terjadinya ketimpangan hara dalam tanah, bahkan dapat memperbaiki

neraca hara dalam tanah

4. Memperbaiki penyediaan lengas tanah, sehingga membatasi risiko kekeringan pada

pertanaman dan memperbaiki ketersediaan hara tanah dan hara pupuk mineral, berarti

meningkatkan efisiensi penggunaannya dan menghemat penggunaan pupuk buatan

yang mahal.

5. Melindungi pertanaman terhadap cekaman oleh unsur-unsur yang ada dalam tanah (Al,

Fe, Mn) atau yang masuk ke dalam tanah dari bahan-bahan pencemar (logam-logam

berat)

6. Tidak membahayakan kehidupan flora dan fauna tanah, bahkan dapat menyehatkannya,

berarti berdaya memelihara ekosistem tanah

7. Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, khususnya atas bekalan-bekalan air,

karena zat-zat kimia yang dikandungnya berkadar rendah dan berbentuk senyawa yang

tidak mudah larut

8. Berharga murah karena pupuk organik terutama dihasilkan dari bahan-bahan yang

tersediakan di dalam usahatani sendiri dan pupuk hayati hanya diperlukan dalam

jumlah sedikit, sehingga menekan biaya produksi usahatani

9. Merupakan teknologi berkemampuan ganda, sehingga cocok sekali untuk diterapkan

pada tanah-tanah yang berpersoalan ganda yang terdapat luas sekali di Indonesia (tanah

acrisol, nitosol, ferralsol).

Menurut pengalaman di Lampung (Sudjadi, 1991) dan di Kalimantan Selatan

(Jurusan Ilmu Tanah UGM, penelitian sedang berjalan), Mucuna sp. (benguk) yang

dikombinasikan dengan bahan fosfat alam dapat menghasilkan pupuk hijau baik dalam

jumlah cukup banyak. Dalam percobaan di Lampung, dalam waktu 120 hari Mucuna sp.

menghasilkan biomassa sebanyak 5-14 ton ha-1, tergantung pada tempat. Disamping untuk

memasok N liwat penyematan N2 udara secara hayati dan melindungi tanah terhadap erosi,

Mucuna sp. juga berguna mengalihragamkan sebagian fosfat anorganik menjadi fosfat

organik untuk membentuk cadangan fosfat yang awet dalam tanah.

Sudjadi (1991) juga melaporkan bahwa alang-alang merupakan sumber bahan

organik yang baik untuk memperbaiki produktivitas tanah podsolik. Pemberian 3 ton ha-1

kepada suatu pertanaman campuran padi gogo - jagung dapat menaikkan hasilpanen padi

gogo 175 kg ha-1 (k.l. 23%) dan jagung 200 kg ha-1 (k.l. 11%). Bahan alang-alang juga

menaikkan efisiensi pupuk buatan N dan K yang diberikan.

Pengamatan di Jambi menunjukkan bahwa pertanaman lorong berhasil mencegah

erosi, khususnya dengan pohon legum Flemingia congesta sebagai tanaman lorong.

Menggunakan pangkasan daun pohon legum lorong sebagai mulsa yang diberikan setiap

dua bulan sekali dapat memperbaiki struktur tanah dan menaikkan kadar bahan organik

dan kadar N dalam tanah setelah dua tahun. Menggunakan pangkasan daun sebagai pupuk

hijau dapat menaikkan tanggapan tanaman jagung, padi gogo dan kedelai terhadap

pemberian unsur hara P, K dan Mg serta pengapuran (Sudjadi, 1991).

Percobaan di Maros, Sulawesi Selatan, di kawasan tanah latosol - podsolik

menunjukkan bahwa pertanaman kedelai yang tidak diberi pupuk akan tetapi diinokulasi

dengan Rhizobium memberikan hasil 24% lebih tinggi daripada yang tidak diinokulasi,

yaitu 2,07 ton ha-1 lawan 1,67 ton ha-1. Bahkan hasil tersebut masih lebih tinggi 5%

daripada hasil terbaik yang dipupuk dan dikapur akan tetapi tanpa inokulasi (Syam dkk.,

1985). Dari Thailand dilaporkan bahwa di tanah-tanah miskin P hasil kedelai dengan

inokulum Rhizobium tanpa pupuk meningkat 89% dibandingkan dengan yang tanpa

inokulum dan tanpa pupuk. Kalau inokulasi digabungkan dengan pupuk buatan P dan K,

hasilnya bertambah lagi 35% daripada yang hanya diberi inokulasi. Kalau Rhizobium

disulih dengan pupuk buatan N, hasilnya malah turun (Boonkerd dkk., 1991). Di Thailand

ditemukan sematan N oleh Rhizobium pada kedelai dapat mencapai rerata lebih daripada

100 kg ha-1, berarti memasok lebih daripada 50% kebutuhan pertanaman kedelai yang

memberikan hasil di atas 2 ton ha-1 (Anon., 1990). Sematan 100 kg N setara dengan 217 kg

pupuk urea.

Inokulasi Rhizobium juga penting pada pertanaman kacang tanah. Percobaan di

tanah podsolik Jasinga, Jawa Barat, menunjukkan bahwa inokulasi menaikkan longgokan

N dalam jaringan tanaman sebanyak 81-133% di atas yang tidak diinokulasi, tergantung

pada macam sediaan inokulum dan varietas kacang tanah. Hal semacam ini juga ditemukan

pada kedelai (Sutarto dkk., 1986). Dengan inokulasi sisa pertanaman kacang tanah dan

kedelai menjadi pupuk hijau yang lebih baik bagi pertanaman pangan bukan legum dalam

pergilirian pertanaman.

Perkembangan mikorisa yang subur membentuk benang-benang hifa yang rapat,

menjulur dari permukaan akar ke dalam tanah. Karena halusnya, hifa dapat menembus

pori-pori tanah yang tidak dapat dimasuki oleh akar-akar rambut yang terhalus sekali pun.

Dengan demikian volum efektif tanah yang terjangkau sistem perakaran meningkat sekali

dan efektivitas penyerapan air dan hara menjadi sangat meningkat pula. Tanaman menjadi

lebih tegar menghadapi risiko kekeringan dan dapat hidup lebih baik di tanah-tanah yang

semula dinilai miskin hara.

Dengan inokulasi jasad renik pelarut fosfat pemupukan fosfat cukup dikerjakan

dengan bahan fosfat alam yang murah, tidak perlu dengan pupuk buatan TSP yang mahal.

Maka kebutuhan akan pupuk P buatan, berarti ketergantungan pada industri petrokimia,

dapat sangat dibatasi atau bahkan dapat ditiadakan. Hal ini akan sangat meringankan beban

biaya produksi petani, khususnya petani kecil. Menurut pengalaman di India, penggunaan

jasad renik penambat N dan pelarut fosfat secara gabungan dapat meningkatkan hasilpanen

padi dan "chikpea" (Cicer arietinum) secara nyata dan dapat memotong kebutuhan pupuk

N buatan sampai setengahnya dan mengganti pupuk P buatan dengan batuan fosfat alam

(Anon., 1990).

Pengujian di Filipina menunjukkan bahwa pemberian kompos yang dibuat dengn

aktivator Trichoderma dan ditambah hanya dengan setengah takaran pupuk buatan yang

biasa diberikan dapat meningkatkan hasilpanen sampai 20% dibandingkan dengan yang

dipupuk dengan takaran penuh pupuk buatan (Anon., 1990). Vermicompost sudah mulai

diproduksi di Indonesia dari sampah kota, a.l. di Semarang. Kegiatan penelitian Jurusan

Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM yang sedang berjalan berkaitan dengan budidaya

organik a.l. mencakup pengomposan pangkasan alang-alang dengan aktivator

Trichoderma, pembuatan dan pengujian kompos Azolla untuk ameliorasi lahan kritis, dan

pembuatan biakan cacing tanah yang dilepaskan dalam tanah untuk memperbaiki sifat

fisik, kimia dan biologi tanah.

Pupuk organik dan hayati mempunyai berbagai keunggulan nyata dibandingkan

dengan pupuk mineral. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan keluaran setiap

budidaya pertanian, sehingga merupakan sumber hara makro dan mikro yang boleh

dikatakan cuma-cuma. Pupuk hayati secara nisbi murah dan diperlukan dalam jumlah

sedikit. Dengan pengelolaan yang baik, tanah yang pernah dinokulasi dengan Rhizobium

atau mikorisa dan ditanami dengan tanaman yang sama biasanya tidak memerlukan

inokulasi ulang. Biakan cacing tanah yang dilepaskan dalam tanah yang sesuai secara

ekologi akan berkembang dengan sendirinya. Pupuk organik dan hayati berdaya ameliorasi

ganda dengan berbagai proses yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah dan

sekaligus mengkonservasi tanah dan menyehatkan ekosistem tanah serta menghindarkan

terjadinya pencemaran lingkungan.

Sistem Gizi Tanaman Terpadu

Dalam penerapan budidaya organik ditemui beberapa kendala berupa keruahan

(bulkiness) pupuk organik, takaran harus banyak, dan dapat menghadapi persaingan

dengan kepentingan lain dalam memperoleh sisa pertanaman atau limbah organik dalam

jumlah cukup. Misalnya, jerami padi banyak diminati oleh pabrik kertas, ampas tebu

digunakan sendiri oleh pabrik gula untuk bahan bakar, dan sampah kota biasa digunakan

untuk menimbun lahan rendah untuk memperluas lahan bangunan di kota-kota.

Pupuk hayati masih berada pada awal pengembangan. Pada waktu ini keberhasilan

penggunaannya masih terbatas, terutama karena produksinya belum dapat memenuhi

jumlah kebutuhan. Untuk mencukupi kebutuhan, pupuk hayati perlu diproduksi secara

industri sebagaimana yang dikerjakan orang di negara-negara maju. Di Indonesia orang

belum berpikir ke arah itu karena kebijakan pembangunan pertanian masih mementingkan

budidaya kimiawi. Maka dari itu bioteknologi yang menjadi dasar pengembangan pupuk

hayati belum memperoleh perhatian sebagaimana mestinya.

Budidaya organik belum dapat diterapkan secara murni mengingat kendala-kendala

tersebut tadi. Disamping itu di tanah-tanah yang sangat miskin hara pupuk organik dan

hayati perlu dilengkapi dengan pupuk mineral, khusus pada tahap awal

pembudidayaannya. Pupuk mineral diperlukan agar supaya takaran pupuk organik tidak

menjadi terlalu banyak menyulitkan pengelolaannya. Sejalan dengan proses pembangunan

kesuburan tanah oleh pupuk organik dan hayati, secara berangsur kebutuhan pupuk mineral

yang berkadar hara tinggi dapat dikurangi. Penggabungan budidaya organik dengan

budidaya kimia disebut sistem gizi tanaman terpadu (integrated plant nutrition system,

IPNS) yang sekarang sedang dikembangkan secara luas di negara-negara Asia dan Pasifik

oleh prakarsa FAO. Di dalam IPNS penggunaan pupuk organik dan hayati bertujuan

jangka panjang untuk membangun sistem bekalan hara (nutrient supply system) dalam

tanah yang baik dan mantap. Penggunaan pupuk kimia bertujuan jangka pendek untuk

memasok hara secara segera sambil menunggu berfungsinya sistem bekalan hara yang

efektif secara berkelanjutan.

Suatu contoh tanah yang sangat miskin hara P dan K ialah tanah podsolik di kawasan

transmigrasi Sitiung, Sumatera Barat. Dalam lapisan permukaannya setebal 45 cm

terkandung setiap ha 7,0 ton N dan hanya 5 kg P dan 5 kg K (dihitung dari data Sudjadi,

1984). Pertanaman jagung dengan hasilpanen 3 ton ha-1 tongkol membawa pergi bersama

dengan hasilpanen 37 kg N, 8 kg P dan 15 kg K (dihitung dari data van Dijk, 1951). Jelas

persediaan P dan K dalam tanah tidak mencukupi untuk satu kali panen tongkol saja,

belum lagi yang diambil bagian tanaman yang lain. Dalam hal seperti ini pupuk organik

perlu dilengkapi dengan pupuk mineral P dan K yang berkadar lebih tinggi. Akan tetapi

dengan tersedianya pupuk hayati pelarut fosfat, pupuk mineral P tidak perlu yang buatan

(TSP), cukup batuan fosfat alam yang jauh lebih murah dan lebih awet dalam tanah.

Dengan sistem pendauran hara yang mengembalikan seluruh sisa pertanaman ke petak

pertanaman, sehingga hara yang terangkut ke luar hanya yang terdapat dalam tongkol,

persediaan N dalam tanah podsolik tersebut akan cukup untuk 190 musim tanam jagung.

Sudah barang tentu tidak dapat dibenarkan menguras habis persediaan N dalam tanah.

Maka persediaan N harus dipelihara dengan pupuk organik atau pupuk hayati, tidak perlu

dengan pupuk N buatan (urea).

Analisis ekonomi atas suatu pengujian inokulasi kedelai di Thailand menunjukkan

bahwa apabila pada pemupukan N-P-K dengna mineral pupuk N-nya disulih dengan

inokulasi Rhizobium, pendapatan bersih naik 2 kali lipat dan persen pendapatan bersih

terhadap biaya variabel meningkat 3 kali lipat. Apabila hanya dilakukan inokulasi saja,

pendapatan bersih naik 1,4 kali dan persen pendapatan bersih terhadap biaya variabel naik

50 kali daripada semata-mata pemupukan mineral (Boonkerd dkk., 1991).