Rabu, Juli 29, 2009

Teknologi Konservasi

TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH
VEGETATIF
(BAG I)
Usaha tani tanaman pangan secara intensif dan menetap pada lahan kering di daerah hujan tropis dihadapkan pada masalah penurunan produktivitas lahan. Salah satu penyebabnya adalah tanahnya peka erosi, berlereng, masam dan miskin unsur-unsur hara. Untuk mencapai keberlanjutan produktivitas lahan perlu tindakan konservasi tanah dan air, serta mencegah hanyutnya serasah dan humus tanah. Tujuan ini dapat dicapai dengan menerapkan teknologi konservasi tanah secara vegetatif dan mekanik. Konservasi tanah pada lahan pertanian tidak hanya terbatas pada usaha untuk mengendalikan erosi atau aliran permukaan, tetapi termasuk usaha untuk mempertahankan kesuburan tanah. Konservasi tanah vegetatif mencakup semua tindakan konservasi yang menggunakan tumbuh-tumbuhan (vegetasi), baik tanaman legum yang menjalar, semak atau perdu, maupun pohon dan rumput-rumputan serta tumbuh-tumbuhan lain, yang ditujukan untuk mengendalikan erosi dan aliran air permukaan pada lahan pertanian. Tindakan konservasi tanah vegetatif tersebut sangat beragam, mulai dari pengendalian erosi pada bidang olah atau lahan yang ditanami dengan tanaman utama, sampai dengan stabilisasi lereng dari bidang olah, saluran pembuangan air (SPA), maupun jalan kebun. Untuk mencapai hasil maksimum dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan, sebaiknya tindakan konservasi tanah vegetatif dikombinasikan dengan teknik konservasi tanah mekanik. Dalam bab ini diuraikan delapan jenis teknologi konservasi tanah vegetatif, yaitu: budi daya lorong, wanatani, penutup tanah, penanaman rumput, pupuk hijau, mulsa, pola tanam, dan pematah angin.

BUDI DAYA LORONG
Tantangan bagi para peneliti tanaman pangan semusim pada lahan kering di daerah hujan tropis adalah untuk menemukan sistem pertanian yang produktif, berkelanjutan dan ramah lingkungan, sebagai pengganti sistem perladangan berpindah atau sistem tebang-bakar yang telah lama dilakukan oleh petani. Sistem perladangan berpindah sudah tidak sesuai dan tidak dapat dilakukan lagi,terutama karena tekanan kepadatan penduduk dan keperluan penggunaan lahan untuk keperluan pembangunan yang lain. Dahulu dengan sistem perladangan berpindah, pengembalian kesuburan atau produktivitas lahan dapat dilakukan dengan membiarkan lahan tersebut bera dan ditumbuhi oleh semak belukar selama beberapa tahun, dapat sampai 10 tahun atau lebih, sebelum lahan tersebut dibuka kembali untuk ditanami tanaman pangan lagi. Sekarang praktek tersebut makin sukar untuk dilakukan karena makin tingginya persaingan
penggunaan lahan (Kang et al., 1989).
Sebagian besar tanah di daerah hujan tropis didominasi oleh tanah-tanah mineral masam, yaitu Ultisol, Oxisol, dan Inceptisol yang secara alami mempunyai pH rendah dan miskin unsur-unsur hara. Penurunan produktivitas tanah di daerah tropis, meskipun pengelolaannya disertai dengan pemupukan, telah banyak dilaporkan. Santoso et al. (1995) melaporkan bahwa penggunaan lahan secara intensif dengan pemberian pupuk N, P, dan K ternyata mengakibatkan penurunan
produktivitas lahan karena terjadi ketidakseimbangan hara akibat pengurasan unsur-unsur hara kalsium dan magnesium dari tanah
Kegagalan usaha tani pada lahan kering di daerah hujan tropis menunjukkan perlunya pendekatan lain untuk mendukung sistem pertanian yang berkelanjutan. Pemberian mulsa dan pengolahan tanah minimum penting untuk mempertahankan sifat-sifat kimia dan fisik tanah. Kedua teknik tersebut akan lebih bermanfaat bila dikombinasikan dengan pengelolaan bahan organik tanah secara biologis. Tujuan ini dapat dicapai dengan merancang masa bera yang dapat menyediakan mulsa dan pupuk hijau setempat (in-situ). Karena sistem perladangan berpindah dengan masa bera yang ditumbuhi semak belukar telah lama dan secara luas dipraktekkan oleh petani di daerah tropis dan subtropis di banyak tempat di dunia, maka penggantian sistem ini dengan sistem lain hampir tidak mungkin. Sistem masa bera dengan semak belukar, selain peranannya untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah dan menekan pertumbuhan gulma, juga mempunyai peranan ganda, yaitu menyediakan banyak manfaat lain termasuk sebagai sumber kayu bakar dan tempat untuk mencari hasil hutan serta berbagai keperluan lain bagi petani. Oleh karena itu perlu dikembangkan sistem yang dapat memperbaiki dan memperpendek atau menghilangkan masa bera, tetapi tetap mempertahankan berbagai manfaat masa bera tersebut bagi petani. Pemahaman akan pentingnya peranan masa bera ini telah mendorong para peneliti untuk mengembangkan sistem pengelolaan lahan yang baru. Suatu konsep untuk memperbaiki kesuburan tanah yang dinamakan alley cropping system muncul di awal tahun 1970-an dari hasil penelitian International Institute of Tropicl Agriculture (IITA) di Ibadan, Nigeria. Sistem tersebut dirancang untuk dapat menggunakan lahan secara intensif tetapi tetap mempertahankan peranan ganda dari sistem masa bera dengan semak belukar. Penelitian tersebut dilakukan di Nigeria Selatan dengan menggunakan tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala Lam.) sebagai tanaman pagar (Kang et al., 1981; dan Kang et al. 1989).
Dalam alley cropping system ini, yang kemudian di Indonesia disebut sebagai sistem budi daya lorong, tanaman pangan (semusim) sebagai tanaman utama ditanam pada bidang olah di lorong-lorong (alleys) antara barisan-barisan tanaman pagar (hedgerow crops) dari semak berkayu atau pohon legum, yang secara berkala dipangkas untuk mengurangi naungan dan sebagai sumber bahan organik. Tanaman semak atau pohon yang ditanam sebagai pagar tersebut tetap
mempunyai fungsi seperti pada sistem bera dengan semak belukar (bush-fallow system), yaitu mendaur ulang unsur hara, sumber mulsa dan pupuk hijau, menekan pertumbuhan gulma dan mengendalikan erosi (Gambar 1). Penggunaan tanaman pagar legum lebih disenangi karena juga dapat menyediakan nitrogen gratis bagi sistem pertanian ini. Oleh karena itu, sistem budi daya lorong dapat juga disebut sebagai sistem bera dengan semak belukar yang diperbaiki, yaitu dengan menggabungkan masa pertanaman dengan masa bera untuk meningkatkan intensitas penggunaan lahan. Terdorong oleh keberhasilan penelitian tersebut, maka kemudian banyak penelitian budi daya lorong lain dilakukan di Afrika. Penelitian on-farm juga dilakukan sejak awal tahun 1980-an dan dengan dimasukkannya ternak ruminansia kecil oleh International Livestock Centre for Africa (ILCA) dalam sistem budi daya lorong dengan menggunakan pakan ternak dari pangkasan tanaman pagar telah mengawali berkembangnya konsep budi daya lorong (Kang et al., 1989).
Di Indonesia, penelitian sistem budi daya lorong mulai banyak dilakukan sejakakhir tahun 1980-an dan hasilnya juga menunjukkan bahwa sistem ini sangat baik untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan (Suwardjo et al., 1988; Adiningsih dan Mulyadi, 1993; Santoso et al., 1994). Misalnya, hanya dalam waktu satu musim hujan, sistem budi daya lorong dengan Flemingia congesta [serengan jantan (Indonesia), hahapaan (Sunda)] sebagai tanaman pagar telah menunjukkan keunggulannya, yaitu menghambat erosi dan aliran permukaan menjadi rendah, dibandingkan dengan tiga teknik pengelolaan tanah yang lain, yaitu pengolahan tanah penuh dikombinasikan dengan penanaman tanaman penutup tanah benguk (Mucuna munaneae), pengolahan tanah penuh dikombinasikan dengan sisa tanaman dibenamkan, dan pengolahan tanah minimum dikombinasikan dengan sisa tanaman dibakar .Flemingia congesta sebagai tanaman pagar mampu menghambat laju aliran permukaan dan menghasilkan pangkasan biomassa banyak (3–9 t ha-1 6 bulan-1), dapat digunakan sebagai mulsa untuk melindungi tanah dari daya rusak butiran air hujan. Pengaruh tidak langsung dari sistem budi daya lorong adalah mempertahankan kadar bahan organik tanah dan memperbaiki sifat-sifat kimia, fisika, dan biologi tanah (Hafif et al., 1992). Selain menunjukkan peranan budi daya lorong, dengan tanaman pagar Flemingia congesta, penelitian ini juga menunjukkan peranan pemupukan dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan. Perlakuan tanpa budi daya lorong dengan sisa panendibakar, dikombinasikan dengan pemberian pupuk takaran sedang dan tinggiberturut-turut menghasilkan tanah tererosi sebesar 13,5 dan 13,7 t ha-1. Pada p erlakuan tanpa pupuk menghasilkan tanah tererosi jauh lebih banyak yaitu 52,8 t ha-1. Penelitian tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa pemupukan dapat mengurangi erosi dan aliran permukaan, karena tanaman yang dipupuk dapat tumbuh dan menutup permukaan tanah jauh lebih cepat daripada tanaman yang
tidak dipupuk. Penutupan permukaan tanah secara rapat dan cepat oleh tajuk tanaman adalah suatu teknik konservasi yang sangat efektif, khususnya dari erosi percikan air hujan. Jadi pemupukan merupakan langkah awal konservasi tanah, yaitu untuk menghasilkan pertumbuhan tanaman yang baik, yang sekaligus juga berperan sebagai penutup tanah yang baik.
Pemberian pupuk yang dikombinasikan dengan sistem budi daya lorong mempunyai pengaruh sinergis dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan
serta peningkatan produksi tanaman. Perlakuan budi daya lorong tanpa pupuk menghasilkan gabah dan biji kacang tanah 0,4 dan 0,1 t ha-1 dan tanah tererosi dan aliran permukaan 34,0 t ha-1 dan 3.875 m3 ha-1. Sistem budi daya lorong dengan pemupukan takaran sedang memberikan hasil gabah dan biji kacang tanah lebih tinggi (1,6 dan 0,4 t ha-1) dibandingkan dengan tanpa pupuk. Bersamaan dengan itu, tanah tererosi dan aliran permukaan sangat berkurang dibandingkan dengan yang tidak dipupuk, yaitu menjadi 1,1 t ha-1 dan 1.454 m3 ha-1. Pemberian pupuk takaran tinggi meningkatkan hasil tanaman dan mengurangi erosi dan aliran permukaan.
Penerapan sistem budi daya lorong pada lahan berlereng mampu membentuk teras alami setinggi 20–30 cm dalam waktu 4 tahun (Sutono et al., 1998). Dengan terbentuknya teras, maka panjang lereng berkurang dan kemiringan lahan di masingmasing bidang olah juga berkurang. Teras alami terbentuk karena sedimen yang terbawa oleh aliran permukaan tertahan oleh barisan tanaman pagar. Pembentukan teras dipercepat dengan pengolahan tanah, karena setelah diolah tanah menjadigembur dan lepas sehingga erosi menjadi lebih tinggi. Selain dapat menekan erosi dan aliran permukaan, budi daya lorong juga menekan kehilangan unsur-unsur hara dari bidang olah. Agus (2000) melaporkan bahwa sistem budi daya lorong dapat menekan kehilangan hara N, P, dan K hingga menjadi seperlimanya. Kehilangan hara dapat ditekan lebih rendah lagi bila diikuti dengan tindakan konservasi tanah yang lain, misalnya pemberian mulsa dan pengolahan tanah minimum.
Bagian I end..... to be continued : Bagian II