Minggu, Maret 01, 2009

Ketahanan Ekonomi Indonesia

DI PUSARAN KRISIS GLOBAL

Fundamental ekonomi di Indonesia saat ini cukup kuat dalam menghadapi efek domino krisis keuangan global. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa indikator.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat dari 5,5 persen di tahun 2006 menjadi 6,3 persen pada tahun 2008. Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak krisis tahun 1998.

Ekonomi Indonesia masih tumbuh sekitar 6.4% pada semester I 2008 (yoy), dengan tiga sektor yang menga­lami pertumbuhan tinggi (qoq) adalah sektor pertanian 5.1%, sektor pengangkutan dan komunikasi 4,1% dan sektor listrik, gas dan air bersih 3.6%.

Pertumbuhan tersebut didorong oleh pertumbuhan konsumsi yang meningkat dari 3,2 persen pada ta­hun 2006 menjadi 5,0 persen pada tahun 2007 dan diprediksikan akan terus meningkat di tahun 2008 dan 2009. Demikian juga pembentukan modal tetap bruto yang meningkat tajam dari 2,5 persen di tahun 2006 menjadi 9,2 persen (2007).

Sementara itu pengeluaran pemerintah menurun dari 9,6 persen menjadi 3,9 persen. Pertumbuhan sek­tor pertanian meningkat dari 3,4 persen (2006) menjadi 3,5 persen (2007). Sektor ekonomi domestik ini tetap kuat di tengah perlambatan perekonomian global.

Indikator lain tampak dari terkendalinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (USD), laju inflasi yang relatif terkendali, menurunnya suku bunga (BI Rate), dan penerimaan dalam negeri (pajak) terus meningkat.

Secara regional, inflasi di negara-negara Asia juga merupakan gejolak global yang hampir dialami oleh se­mua negara berkembang.

Inflasi Indonesia YoY sekitar 12,14% pada Septem­ber 2008 yang lebih disebabkan oleh faktor seasonality yaitu Bulan Puasa dan Lebaran disamping karena im­ported inflation, sedangkan inflasi tertinggi dialami oleh negara Vetnam sekitar 27.90% dan diikuti oleh Myan­mar sekitar 21.40%.

Ke depan inflasi Indonesia akan terjaga dimana seir­ing dengan menurunnya goncangan ekonomi domestik dan fundamental ekonomi Indonesia yang semakin kuat (Aksa, 2008).

Kondisi Perekonomian Indonesia

1. Kondisi Pasar Modal

Masih berlanjutnya tekanan terhadap pasar keuan­gan global berimbas pada menurunnya kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama Agustus 2008.

Pada akhir Agustus 2008, IHSG ditutup pada level 2165,9 atau melemah 6,01 persen dibandingkan den­gan bulan sebelumnya. Pelemahan IHSG tersebut teru­tama disebabkan oleh gejolak eksternal yang bersum­ber dari permasalahan di bursa global.

Dari sisi domestik, penurunan IHSG masih relatif tertahan dengan terjaganya faktor fundamental emiten dan efektifnya peran komunikasi Bank Indonesia dalam meyakinkan pasar.

Sejalan dengan perkembangan risiko global yang cenderung meningkat, penurunan IHSG juga merupa­kan dampak dari penyesuaian portofolio investor asing. Beberapa bursa global bahkan mengalami pelemahan cukup signifikan sebagai dampak pengalihan dana in­vestor asing dari negara emerging markets. Hal itu di ter­ lakukan untuk mengurangi eksposure aset berisiko dan kecenderungan ketatnya likuiditas global.

Dalam bursa domestik, perilaku penyesuaian porto­folio tersebut tercermin pada tekanan jual asing yang berlangsung hingga pekan pertama Agustus 2008. Na­mun, pada pekan kedua, investor asing kembali mem­bukukan net beli di pasar saham sebagai reaksi kon­disi pasar saham yang relatif undervalued. Pelemahan IHSG justru menjadi insentif bagi investor asing untuk membukukan net beli di pasar saham.

Investor asing mencatat net beli pada Agustus 2008 sebesar Rp467 miliar atau naik dari posisi sebelumnya yang membukukan total net jual sebesar Rp895,4 mil­iar. Namun demikian, besarnya penarikan oleh inves­tor asing sebelumnya telah menyebabkan penurunan kapitalisasi asing menjadi Rp667,7 triliun per Agustus 2008 dari Rp790,8 triliun per Desember 2007 atau turun sebesar Rp123 triliun.

Secara proporsional, kepemilikan asing pada Agus­tus 2008 juga menurun dan berada pada level 63,2 persen atau turun dari posisi Desember 2007 yang ter catat sebesar 66,3 persen.

2. Kondisi Sektor Riil

Akhir-akhir ini pendapatan riil per kapita men­ingkat dari Rp8.319.000 pada tahun 2006 menjadi Rp8.725.000 pada tahun 2007.

Di sektor ketenagakerjaan tingkat penganggu­ran terbuka menurun dari 10,3 persen (10,9 juta orang) pada tahun 2006 menjadi 9,1 persen (10,0 juta orang) pada tahun 2007. Jumlah penduduk miskin berkurang sebanyak 2,1 juta orang pada tahun 2008.

Selain itu terjadi peningkatan surplus neraca transaksi berjalan. Tercatat dari USD10,6 miliar (2006) menjadi USD11,0 miliar (2007). Peningka­tan tersebut disebabkan adanya kenaikan ekspor nonmigas sebesar 15,6 persen pada 2007.

Meski demikian, ekspor migas masih menga­lami penurunan dari 13,3 persen (2006) menjadi 8,4 persen (2007). Salah satu penyebabnya ada­lah turunnya tingkat lifting produksi kilang-kilang minyak tua.

Nilai ekspor Indonesia Agustus 2008 mencapai USD 12,5 miliar atau mengalami penurunan sebesar 0,4 persen dibanding bulan Juli 2008. Secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Agustus 2008 mencapai USD 95,4 miliar atau meningkat 29,9 persen dibanding periode yang sama tahun 2007.

Adapun tujuan pasar ekspor Indonesia telah se­makin terdiversifikasi, sehingga peran Amerika Ser­ikat dan Uni Eropa semakin menurun. Oleh sebab itu, dampak langsung dari krisis finansial di Amerika Serikat tersebut belum begitu dirasakan.

Untuk pasar Uni Eropa dan AS pangsa pasarnya tu­run, sedangkan ke Asia, Jepang dan Singapura cukup stabil, namun ke Asia emerging countries cenderung meningkat.

Cadangan devisa Indonesia naik dari USD 42,6 miliar pada tahun 2006 menjadi USD 56,9 miliar pada 2007, bahkan pada Maret 2008 telah mencapai USD 60 miliar.

3. Kondisi Moneter

Kondisi perbankan yang menjadi jantung perekono­mian Indonesia saat ini memiliki fundamental yang kuat. Hal itu tercermin dari angka rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL), likuiditas, dan permoda­lan.

NPL netto, setelah dikurangi provisi hanya 1,42 persen jauh di bawah batas maksimum yang ditetapkan BI sebesar 5 persen.

Likuiditas perbankan saat ini juga masih memadai, tercermin dari rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (Loan to Deposit Ratio/LDR) yang masih dibawah 80 persen. Ketatnya likuiditas yang terjadi belakangan ini bukan disebabkan oleh kelangkaan likuiditas yang ada di industri, tetapi lebih karena faktor psikologis dan kepemilikan likuiditas yang tidak merata antar bank. Banyak bank yang sebenarnya memiliki likuiditas ber­lebih, namun enggan meminjamkan ke bank lain karena khawatir sulit mendapatkan likuiditas pada masa men­datang.

Permodalan perbankan domestik saat ini juga cu­kup kuat. Ini tercemin dari rasio kecukupan modal yang sebesar 17 persen, jauh di atas angka maksimum 8 persen. Fundamental yang kuat tersebut akan membuat perbankan tetap optimal melakukan fungsi intermediasi untuk mendorong perekonomian.

Dalam hal kebijakan moneter diarahkan untuk men­capai sasaran inflasi yang ditetapkan, yakni 8,0 pers­en pada tahun 2006 dan 6,5 persen pada tahun 2007. Pada 2006 – 2007, inflasi berhasil dikendalikan pada kisaran 6,6 persen.

Hingga akhir September 2008, laju inflasi mencapai 10,47 persen, hal itu disebabkan kenaikan harga min­yak dunia pada kisaran USD130 per barel sehingga pemerintah melakukan pengurangan subsidi BBM yang mengakibatkan harga kebutuhan pokok naik. Namun, pemerintah berupaya untuk tetap mengendalikan laju inflasi.

Kebijakan fiskal dengan penerbitan SUN (Surat Utang Negara) pada tahun 2005 mencapai Rp22.574,7 10,01 juta orang atau 9,11 persen dari total angkatan kerja.

Selama 2005 - 2007, jumlah lapangan kerja mening­kat sekitar 6 juta. Kesempatan kerja pada sektor indus­tri di perkotaan mengalami penurunan 229.000, akan tetapi di perdesaan meningkat sebesar 1,4 juta. Pada sektor pertanian di perkotaan, kesempatan kerja men­galami sedikit penurunan sekitar 211.000. Sebaliknya, di perdesaan bertambah 107.000. Di sektor produksi, pertumbuhan lapangan kerja di dominasi sektor jasa yang berkontribusi sekitar 2,7 juta di perkotaan dan 2,2 juta di pedesaan.

Peningkatan lapangan kerja telah berhasil menu­runkan angka pengangguran terbuka. Penciptaan lapangan kerja produktif diupayakan terus dan konsisten agar pengangguran terbuka semakin berkurang untuk mencapai target sebesar 5,1 persen pada tahun 2009.

Dampak Krisis Keuangan Global

Krisis keuangan di AS mengakibatkan pengeringan likuiditas sektor perbankan dan institusi keuangan non-bank yang disertai berkurangnya transaksi keuangan. Penger­ingan likuiditas akan memaksa para inves­tor dari institusi keuangan AS untuk melepas kepemilikan saham mereka di pasar modal Indonesia untuk memperkuat likuiditas keuangan institusi mereka.

Aksi tersebut akan menjatuhkan nilai saham dan mengurangi volume penjualan saham di pasar modal Indonesia. Selain itu, beberapa perusahaan keuangan Indonesia yang menginvetasikan dananya di instrumen investasi lembaga keuangan di AS juga mendapat im­bas atas kejatuhan nilai saham tersebut.

Krisis keuangan di AS yang merambah ke beberapa negara lainnya juga akan mengancam perdagangan be­berapa produk ekspor Indonesia di pasar AS, Jepang, dan kawasan Uni Eropa yang telah berlangsung sejak lama. Hal ini sangat berbahaya mengingat produk eks-por Indonesia sangat bergantung pada negara-negara tersebut, sedangkan di dalam negeri produk-produk tersebut kalah bersaing dengan produk impor China yang lebih murah.

Krisis keuangan AS berdampak kepada kondisi keuangan semua negara tidak terkecuali untuk negara-negara Asia dan emerging market lainnya.

Nilai tukar mata uang negara-negara Asia menga­lami depresiasi terhadap mata uang dolar AS, namun apabila melihat kondisi Rupiah dibandingkan yang lain­nya masih menunjukkan kondisi yang lebih baik.

Selama 1 Jan- 10 Oktober 2008, Rupiah hanya ter­depresiasi sekitar 3%, jauh dibawah nilai mata uang Philipina (16%) dan juga Thailand (17%). Hal ini menun­jukkan bahwa, ekonomi kita masih terjaga menghadapi krisis ekonomi.

Dengan demikian krisis keuangan global memberi­kan dampak langsung ataupun tidak langsung terhadap perkembangan ekonomi Indonesia.

Dampak langsung yang terjadi adalah kerugian pada sebagian kecil investor yang memiliki exposure atas aset-aset yang terkait langsung dengan institusi-institusi keuangan Amerika Serikat yang bermasalah, misalnya lembaga keuangan Indonesia yang menanam dana dalam instrumen Lehman Brothers.

Sedangkan dampak tidak langsung krisis finansial global, antara lain;

• Mempengaruhi momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam bentuk pengeringan likuiditas, lon­jakan suku bunga, anjloknya harga komoditas, dan melemahnya pertumbuhan sumber dana.

• Menurunnya tingkat kepercayaan konsumen, inves­tor, dan pasar terhadap berbagai institusi keuangan yang ada.

Flight to quality, pasar modal Indonesia terkoreksi akibat indikasi melemahnya mata uang rupiah dan yang paling mengkhawatirkan apabila para investor yang saat ini masih memegang aset keuangan likuid di Indonesia mulai melepas aset-aset tersebut kar­ena alasan kejatuhan nilai saham akibat faktor ter­tentu.

• Kurangnya pasokan likuiditas di sektor keuangan karena kebangkrutan berbagai institusi keuangan global khususnya bank-bank investasi akan ber­dampak pada cash flow sustainability perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Akibatnya, penda­naan ke capital market dan perbankan global akan mengalami kendala dari aspek pricing (suku bunga) dan availability (ketersediaan dana).

• Menurunnya tingkat permintaan dan harga komoditas utama ekspor Indonesia tanpa diimbangi peredam-an laju impor secara signifikan akan menyebabkan defisit perdagangan yang semakin melebar dalam beberapa waktu mendatang.

• Selanjutnya defisit perdagangan tersebut akan me­nyulitkan penggalangan capital inflow dalam jumlah besar untuk menutup defisit itu sendiri seiring den­gan keringnya likuiditas pasar keuangan global.

Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang berdampak negatif terhadap negara-neg­ara lainnya, tidak berimbas terlalu besar bagi Indone­sia. Hal ini disebabkan net ekspor Indonesia ke luar ne geri hanya 10 persen dari total produk domestik bruto (PDB).

Pasar ekspor utama Indonesia adalah Jepang dan Singapura, kedua negara tersebut sangat merasakan dampaknya dari krisis keuangan global itu. Namun, pemerintah memahami bahwa upaya mengamankan sistem ekonomi secara menyeluruh harus terus dilaku­kan, khususnya menjaga kekuatan sektor riil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar