Selasa, Desember 31, 2013

PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) PADI SAWAH


PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah merupakan sebuah inovasi untuk menunjang peningkatan produksi padi. Hal ini dilatarbelakangi karena beras sebagai bahan pangan yang berasal dari padi merupakan bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sebagai bahan pangan pokok utama padi memegang posisi yang strategis untuk dikembangkan.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah adalah suatu pendekatan inovatif dalam upaya peningkatan efisiensi usaha tani padi sawah dengan menggabungkan berbagai komponen teknologi yang saling menunjang dan dengan memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara bijak agar memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman.
Pengelolaan Tanaman Terpadu atau PTT padi sawah bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dari segi hasil dan kualitas melalui penerapan teknologi yang cocok dengan kondisi setempat (spesifik lokasi) serta menjaga kelestarian lingkungan. Dengan meningkatnya hasil produksi diharapkan pendapatan petani akan meningkat.
Sebagai salah satu upaya maupun inovasi untuk meningkatkan produktivitas tanaman penerapan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah didasarkan pada empat prinsip, yaitu :
·         Terpadu ; bukan merupakan teknologi maupun paket teknologi tetapi merupakan suatu pendekatan agar sumberdaya tanaman, tanah dan air dapat dikelola dengan sebaik-baiknya secara terpadu.
·         Sinergis ; memanfaatkan teknologi pertanian yang sudah dikembangkan dan diterapkan dengan memperhatikan unsur keterkaitan sinergis antar teknologi.
·         Spesifik lokasi ; memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi pertanian setempat.
·         Partisipatif ; petani turut berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kemampuan petani dan kondisi setempat melalui proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan.
Dalam penerapan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah tidak lagi dikenal rekomendasi untuk diterapkan secara nasional karena petani secara bertahap dapat memilih sendiri komponen teknologi yang paling sesuai dengan kemampuan petani dan keadaan setempat untuk diterapkan dengan mengutamakan efisiensi biaya produksi dan komponen teknologi yang saling menunjang untuk diterapkan.

KOMPONEN TEKNOLOGI PTT PADI SAWAH
Komponen teknologi PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah dirakit berdasarkan kajian kebutuhan dan peluang (KKP) yang akan mempelajari permasalahan yang dihadapi petani dan cara-cara mengatasi permasalahan tersebut dalam upaya meningkatkan produksi sehingga komponen teknologi yang dipilih akan sesuai dengan kebutuhan setempat.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menyediakan beberapa pilihan komponen teknologi yang dikelompokkan menjadi komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan.
Komponen teknologi dasar adalah sekumpulan teknologi yang dianjurkan untuk diterapkan semuanya sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi dengan input yang efisien sebagaimana menjadi tujuan dari PTT. Komponen teknologi dasar PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah meliputi :
·         Penggunaan varietas padi unggul atau varietas padi berdaya hasil tinggi dan bernilai ekonomi tinggi yang sesuai dengan karakteristik lahan, lingkungan dan keinginan petani
·         Benih bermutu dan berlabel/bersertifikat
·         Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah
·         Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT).
Sedangkan komponen teknologi pilihan adalah teknologi-teknologi penunjang yang tidak mutlak harus diterapkan tetapi lebih didasarkan pada spesifik lokasi maupun kearifan lokal dan telah terbukti serta berpotensi meningkatkan produktivitas. Secara spesifik lokasi dan kearifan lokal komponen teknologi ini dapat diperoleh dari sumber daya alam yang tersedia ataupun dari pengalaman petani sendiri. Komponen teknologi pilihan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah meliputi :
·         Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam
·         Penggunaan bibit muda (< 21 HSS)
·         Tanam dengan jumlah bibit terbatas yaitu antara 1 – 3 bibit perlubang
·         Pengaturan populasi tanaman secara optimum (jajar legowo)
·         Pemberian bahan organik berupa kompos atau pupuk kandang serta pengembalian jerami ke sawah sebagai pupuk dan pembenah tanah
·         Pengairan berselang (intermiten irrigation) secara efektif dan efisien
·         Pengendalian gulma dengan landak atau gasrok
·         Panen dan penanganan pasca panen yang tepat.
Perpaduan komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan produktivitas padi dengan didasarkan pada pendekatan yang partisipatif.

TEKNIS PELAKSANAAN PTT PADI SAWAH
Berikut akan diuraikan teknis budidaya padi sawah melalui pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) dengan menggabungkan komponen teknologi dasar dan teknologi pilihan.
A. Pengolahan Tanah Sesuai Musim dan Pola Tanam
Pengolahan tanah dapat dilakukan secara sempurna dengan dua kali pembajakan dan satu kali garu atau minimal, atau tanpa olah tanah. Pemilihan cara yang akan dilakukan disesuaikan dengan keperluan dan kondisi. Faktor yang menentukan adalah kemarau panjang, pola tanam dan jenis/struktur tanah.
Dua minggu sebelum pengolahan tanah, taburkan bahan organik secara merata di atas hamparan sawah. Bahan organik yang digunakan dapat berupa pupuk kandang (2 ton/ha) atau kompos jerami (5 ton/ha).
B. Varietas Unggul
Dalam PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah pemilihan varietas merupakan salah satu komponen utama yang mampu meningkatkan produktivitas padi. Varietas padi yang akan ditanam dipilih varietas unggul baru (VUB) yang mampu beradaptasi dengan lingkungan untuk menjamin pertumbuhan tanaman yang baik, tahan serangan penyakit, berdaya hasil dan bernilai jual tinggi serta memiliki kualitas rasa yang dapat diterima pasar.
Varietas unggul baru (VUB) dapat berupa padi inbrida seperti ciherang, mekongga, inpari (10, 11,13) atau hibrida seperti rokan, hipa 3, bernas super dan intani. Tanam varietas unggul baru ini secara bergantian untuk memutus siklus hidup hama dan penyakit.
C. Benih Bermutu
Benih bermutu adalah benih dengan tingkat kemurnian dan daya tumbuh yang tinggi, berukuran penuh dan seragam, daya kecambah diatas 80 % (vigor tinggi), bebas dari biji gulma, penyakit dan hama atau bahan lain. Gunakan selalu benih yang telah memiliki sertifikasi atau label untuk mendapatkan benih dengan tingkat kemurnian tinggi dan berkualitas atau benih bermutu yang diproduksi oleh petani.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menganjurkan untuk menyeleksi atau memilih benih bermutu agar didapatkan benih yang benar-benar berkualitas (bernas) dan vigor tinggi dengan cara membuat larutan garam dapur (30 gram garam dapur dalam 1 liter air) atau larutan pupuk ZA (1kg pupuk ZA dalam 2,7 liter air). Benih dimasukkan ke dalam larutan garam atau pupuk ZA (volume larutan 2 kali volume benih) kemudian diaduk dan benih yang mengambang atau terapung di permukaan larutan dibuang.
Cara sederhana dapat dilakukan dengan merendam benih dalam larutan garam dapur menggunakan indikator telur. Telur mentah (bisa telur ayam atau bebek) dimasukkan ke dalam air, kemudian masukkan garam sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai telur terapung ke permukaan. Kemudian telur diambil dan benih dimasukkan ke dalam larutan garam. Benih yang mengapung dibuang dan benih yang tenggelam selanjutnya dicuci sampai bersih dari garam untuk disemai.
Untuk keperluan penanaman seluas 1 hektar benih yang dibutuhkan kurang lebih sebanyak 20 kg. Benih bernas (yang tenggelam) dibilas dengan air sampai bersih dari garam kemudian direndam dengan air bersih selama 24 jam. Selanjutnya diperam dalam karung atau wadah lainnya selama 48 jam dan dijaga kelembabannya dengan membasahi wadah dengan air.
Untuk benih padi hibrida tidak diberi perlakuan perendaman dalam larutan garam tetapi langsung direndam dalam air dan selanjutnya diperam.
Lahan persemaian untuk 1 hektar luasan lahan pertanaman sebaiknya 400 meter persegi (4% dari luas tanam) dengan lebar bedengan 1 – 1,2 meter dan antar bedengan dibuat parit sedalam 25 – 30 cm. Saat pembuatan bedengan taburkan bahan organik 2 kg /meter persegi seperti kompos, pupuk kandang atau campuran berbagai bahan antara lain kompos, pupuk kandang, serbuk kayu, abu dan sekam padi. Tujuan pemberian bahan organik ini untuk memudahkan pencabutan bibit padi sehingga kerusakan akar bisa dikurangi.
D. Sistem Tanam
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menganjurkan tanam menggunakan bibit muda atau kurang dari 21 HSS (hari setelah sebar) dan jumlah bibit 1 – 3 batang per lubang karena bibit lebih muda akan menghasilkan anakan lebih banyak dibanding menggunakan bibit lebih tua.
Pada daerah endemik keong untuk mengantisipasi serangan keong dapat menggunakan bibit lebih dari 21 HSS tetapi dianjurkan tidak lebih dari 25 HSS. Masa kritis serangan keong berada pada 21 hari setelah sebar dan 10 hari setelah pindah tanam.
Tanam dilakukan dengan kondisi lahan jenuh air (ketinggian air kurang lebih 2 cm dari permukaan tanah macak-macak) dengan jumlah bibit yang ditanam tidak lebih dari 3 bibit per rumpun. Gunakan jarak tanam yang beraturan seperti model tegel 20 X 20 cm (25 rumpun/meter persegi) atau 25 X 25 cm (16 rumpun/meter persegi). Pengaturan jarak tanam dapat dilakukan dengan menggunakan caplak atau tali sebagai mal.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menganjurkan untuk mengatur jarak dan populasi tanaman dengan menerapkan sistem tanam jajar legowo. Sistem tanam jajar legowo adalah sistem tanam dengan pengaturan jarak tanam tertentu sehingga pertanaman akan memiliki barisan tanaman yang diselingi oleh barisan kosong dimana jarak tanam pada barisan pinggir setengah kali jarak tanam antar barisan.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menganjurkan penerapan sistem tanam jajar legowo karena adanya keuntungan dan kelebihan yang lebih dibanding dengan sistem tanam konvensional (tegel) diantaranya yaitu :
·         Adanya efek tanaman pinggir
·         Sampai batas tertentu semakin tinggi populasi tanaman semakin banyak jumlah malai persatuan luas sehingga berpeluang menaikkan hasil panen
·         Terdapat ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpulan keong atau mina padi
·         Pengendalian hama, penyakit dan gulma menjadi lebih mudah
·         Dengan areal pertanaman yang lebih terbuka dapat menekan hama dan penyakit
·         Penggunaan pupuk lebih berdaya guna.
Sistem tanam jajar legowo yang dapat diterapkan adalah sistem tanam jajar legowo 2 : 1 atau 4 : 1 dan penyulaman tanaman dapat dilakukan sebelum tanaman berumur 14 HST (hari setelah tanam).
E. Pengairan Berselang (Intermittent Irrigation)
Pengairan dilakukan dengan sistem pengairan berselang (intermittent irrigation). Pengairan berselang adalah pengaturan kondisi sawah dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian yang bertujuan untuk :
·         Menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi lebih luas
·         Memberi kesempatan akar tanaman memperoleh udara lebih banyak sehingga dapat berkembang lebih dalam karena akar yang dalam dapat menyerap unsur hara dan air yang lebih banyak
·         Mencegah timbulnya keracunan besi
·         Mencegah penimbunan asam organik dan gas hidrogen sulfida yang menghambat perkembangan akar
·         Mengaktifkan jasad renik (mikrobia tanah) yang bermanfaat
·         Mengurangi kerebahan
·         Mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif (tidak menghasilkan malai dan gabah)
·         Menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen
·         Memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (lapisan olah)
·         Memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi penyebaran hama wereng coklat dan penggerek batang serta mengurangi kerusakan tanaman padi karena hama tikus.
Teknis penerapan pengairan berselang dilakukan pada saat tanaman berumur 3 HST (hari setelah tanam) dimana petakan sawah diairi dengan tinggi genangan 3 cm dan selama 2 hari berikutnya tidak ada penambahan air sampai kondisi air di petakan habis dan tanah mengering sedikit retak. Baru pada hari ke 4 (7 HST) petakan sawah diairi kembali hingga genangan air setinggi 3 cm dan tidak ada penambahan air sampai kondisi air dipetakan habis dan tanah menjadi mengering sedikit retak kembali. Cara ini dilakukan terus sampai fase anakan maksimal.
Pada saat mulai fase pembentukan malai (bunting) sampai pengisian biji petakan sawah digenangi terus. Petakan dikeringkan kembali saat 10 – 15 hari sebelum panen.
Pada tanah yang cepat menyerap air atau berpasir selang waktu pengairan harus diperpendek. Apabila ketersediaan air selama satu musim tanam kurang mencukupi selang waktu pengairan dapat diperpanjang yaitu dengan selang waktu 5 hari.
Pengairan berselang secara efektif dan efisien hanya dapat dilakukan pada areal sawah irigasi teknis yang dapat dengan mudah mengatur masuk dan keluarnya air pada areal persawahan. Pada sawah-sawah yang sistem drainasenya tidak baik (sulit dikeringkan) atau sawah tadah hujan pengairan berselang (intermittent irrigation) tidak perlu diterapkan.
F. Pemupukan Berimbang
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menerapkan pemupukan berimbang secara efektif dan efisien sesuai kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah. Pemupukan berimbang adalah pemberian berbagai unsur hara dalam bentuk pupuk untuk memenuhi kekurangan hara yang dibutuhkan tanaman berdasarkan tingkat hasil yang ingin dicapai dan hara yang tersedia dalam tanah. Unsur hara yang dibutuhkan tanaman adalah unsur N (nitrogen ; dalam bentuk pupuk urea), P (phospat ; dalam bentuk pupuk TSP/SP36) dan K (kalium ; dalam bentuk pupuk KCL).
Kebutuhan N tanaman dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat kehijauan warna daun padi menggunakan bagan warna daun (BWD). Bagan warna daun adalah sebuah alat untuk mengukur tingkat kebutuhan N tanaman dengan mengukur skala tingkat kehijauan warna daun sehingga dapat diketahui jumlah kebutuhan unsur hara N tanaman.
Nilai pembacaan bagan warna daun (BWD) digunakan untuk mengoreksi dosis pupuk N yang telah ditetapkan sehingga menjadi lebih tepat sesuai dengan kondisi tanaman.
Pemberian pupuk awal N diberikan pada umur tanaman sebelum 14 HST ditentukan berdasarkan tingkat kesuburan tanah. Dosis pupuk awal N (urea) untuk padi varietas unggul baru adalah 50 – 75 kg/ha, sedangkan untuk padi tipe baru dengan dosis 100 kg/ha. Pembacaan BWD hanya dilakukan menjelang pemupukan kedua (tahap anakan aktif ; umur 21 – 28 HST) dan pemupukan ketiga (tahap primordia ; umur 35 – 40 HST). Khusus untuk padi hibrida dan padi tipe baru pembacaan BWD juga dilakukan pada saat tanaman dalam kondisi keluar malai dan 10 % berbunga.
Pemupukan dilakukan dengan cara disebar/ditabur merata di seluruh permukaan tanah. Urea merupakan pupuk yang mudah larut dalam air sehingga pada saat pemupukan sebaiknya saluran pemasukan dan pengeluaran air ditutup.
Pemupukan P dan K disesuaikan dengan hasil analisis status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Status hara tanah P dan K dapat ditentukan dengan perangkat uji tanah sawah (PUTS). Tiap wilayah telah memiliki dosis rekomendasi pemupukan P dan K yang berdasarkan pada uji tanah sawah yang dilakukan oleh instansi terkait (Balai Penyuluhan/Dinas Pertanian).
Terdapat tiga skala tingkatan status hara tanah P dan K pada suatu lahan sawah yaitu tinggi, sedang dan rendah sebagaimana termuat dalam tabel di bawah ini :
Rekomendasi Pemupukan P dan K
Pupuk P diberikan seluruhnya sebagai pupuk dasar atau bersamaan dengan pemupukan N yang pertama pada 0 – 14 HST. Pupuk K pada lahan sawah dengan status hara tanah P dan K rendah (dosis 100 kg/ha KCL) diberikan 50 % sebagai pupuk dasar (pemupukan pertama) dan sisanya diberikan pada masa primordia.
Pada lahan sawah dengan status hara tanah P dan K sedang – tinggi (< 50 kg KCL/ha) pupuk K diberikan seluruhnya sebagai pupuk dasar (0 – 14 HST).
G. Pengendalian Gulma
Pengendalian gulma atau penyiangan adalah kegiatan membersihkan pertanaman dari rumput dan tanaman yang tidak dikehendaki keberadaannya (gulma) di areal pertanaman karena dapat mengganggu perkembangan tanaman pokok. Penyiangan dapat dilakukan dengan cara mencabut gulma dengan tangan, menggunakan alatgasrok (landak) atau menggunakan herbisida.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah lebih menganjurkan melakukan penyiangan dengan menggunakan alat gasrok karena sinergis dengan pengelolaan lainnya dan lebih memiliki keuntungan yaitu :
·         Ramah lingkungan
·         Hemat tenaga kerja sehingga lebih ekonomis dibandingkan dengan penyiangan menggunakan tangan
·         Memberikan sirkulasi udara ke dalam tanah sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar tanaman
·         Apabila dilakukan bersamaan atau segera setelah pemupukan akan membenamkan pupuk ke dalam tanah sehingga pemberian pupuk menjadi efisien.
Penyiangan menggunakan gasrok dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
·         Penyiangan dilakukan saat tanaman berumur 10 – 15 HST
·         Dianjurkan dilakukan dua kali, dimulai pada saat tanaman berumur 10 – 15 HST dan diulangi 10 – 25 hari kemudian
·         dilakukan pada kondisi air macak-macak dengan ketinggian 2 – 3 cm
·         Gulma yang terlalu dekat dengan tanaman dicabut dengan tangan
·         Dilakukan dua arah yaitu diantara dan di dalam barisan tanaman.
Pengendalian gulma atau penyiangan secara manual hanya efektif dilakukan apabila air di petakan sawah dalam kondisi macak-macak atau tanah jenuh air. Jika kondisi tidak memungkinkan dilakukan penyiangan/pengendalian gulma secara manual dan populasi gulma sudah tinggi maka pengendalian gulma dapat dilakukan dengan menggunakan herbisida.
H. Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu (PHT)
Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT) merupakan suatu pendekatan pengendalian yang memperhitungkan faktor ekologi sehingga pengendalian dilakukan agar tidak terlalu mengganggu keseimbangan alam dan tidak menimbulkan kerugian yang besar.
Pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) merupakan perpaduan berbagai cara pengendalian hama dan penyakit diantaranya dengan melakukan monitoring populasi hama dan kerusakan tanaman sehingga penggunaan teknologi pengendalian dapat menjadi lebih tepat.
Pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) dapat dilakukan dengan menggunakan strategi diantaranya :
·         Gunakan varietas tahan hama dan penyakit
·         Tanam tanaman yang sehat
·         Memanfaatkan musuh alami
·         Pengendalian secara mekanik (menggunakan alat) dan fisik (menangkap)
·         Penggunaan pestisida hanya jika diperlukan dan dilakukan tepat sesuai dosis, sasaran dan waktu.
I. Panen dan Pasca Panen
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah sangat memperhatikan proses penanganan panen dan pasca panen. Panen dan pasca panen harus ditangani secara baik dan benar karena penanganan panen dan pasca panen yang tidak baik dan benar dapat menyebabkan kehilangan hasil 4 – 18 %.
Untuk mendapatkan butir padi dan beras dengan kualitas baik perlu memperhatikan ketepatan waktu panen. Panen terlalu cepat dapat menimbulkan prosentase butir hijau tinggi yang berakibat sebagian butir padi tidak berisi atau rusak saat digiling. Panen terlambat menyebabkan hasil berkurang karena butir padi mudah lepas dari malai dan tercecer di sawah atau beras pecah saat digiling.
Umur tanaman padi mungkin berbeda antara varietas satu dengan varietas yang lainnya sehingga hal ini juga perlu diperhatikan. Hitung sejak padi berbunga biasanya panen dilakukan pada 30 s/d 35 hari setelah padi berbunga. Jika malai telah menguning 95 % segera lakukan pemanenan.
Panen dilakukan dengan cara memotong padi menggunakan sabit bergerigi 10 – 15 cm dari atas permukaan tanah atau dari pangkal malai jika akan dirontok dengan power thresser. Panen sebaiknya dilakukan secara berkelompok (15 – 20 orang) yang dilengkapi dengan alat perontok. Dengan cara ini maka tingkat kehilangan hasil pada saat panen dapat dikurangi.
Gunakan plastik atau terpal sebagai alas padi yang baru dipotong dan ditumpuk sebelum dirontok. Sesegera mungkin padi dirontokan, apabila panen dilakukan pada waktu pagi hari sebaiknya sore harinya segera dirontokkan karena perontokkan yang dilakukan lebih dari dua hari dapat menyebabkan kerusakan beras.
Perlu diperhatikan juga jika perontokkan padi dilakukan dengan cara tradisional (di-gepyok) maka gunakan alas dari plastik atau terpal yang lebarnya mencukupi dan bagian pinggir plastik atau terpal dilipat keatas yang berfungsi sebagai dinding untuk menahan butir padi terlempar keluar dari alas sehingga dapat mengurangi kehilangan hasil.
Proses selanjutnya adalah penanganan pasca panen. Gabah yang sudah dirontokkan dijemur di atas lantai jemur atau jika tidak ada bisa menggunakan terpal. Gabah dijemur dengan ketebalan 5 – 7 cm dan dilakukan pembalikan setiap 2 jam sekali hingga kering. Gabah kering jika tidak langsung digiling harus disimpan di tempat yang bersih dalam lumbung/gudang yang bebas hama dan memiliki sirkulasi udara yang baik. Gabah yang akan dikonsumsi agar diperoleh beras dengan kualitas baik disimpan dengan kadar air 14 %. Sedangkan gabah yang akan digunakan sebagai benih disimpan dengan kadar air 12 %.
Gabah yang akan disimpan dalam waktu lama harus memiliki kadar air yang lebih rendah. Untuk penyimpanan 4 – 6 bulan gabah harus memiliki kadar air 12 % dan apabila disimpan selama 7 – 12 bulan kadar air gabah 11 %.
Yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan gabah adalah tempat penyimpanan dan wadah yang digunakan untuk mengemas gabah. Gudang atau tempat penyimpanan harus bersih dari kotoran dan hama, dapat melindungi gabah dari hama seperti tikus dan memiliki sirkulasi udara yang baik.
Wadah pengemas dapat menggunakan kemasan karung, kemasan plastik dan kemasan yute. Kemasan harus dapat melindungi gabah dari hama, kerusakan fisik terhadap goncangan dan mudah dipindahkan. Simpan gabah dengan ditata rapi secara bertumpuk dan mendapatkan sirkulasi udara yang baik. Sebaiknya kemasan atau karung disimpan tidak langsung menempel pada dinding karena dapat mempengaruhi kelembaban padi dalam kemasan.
Pencegahan dan pengendalian hama dapat dilakukan dengan cara fumigasi. Penggunaan insektisida jangan langsung disemprotkan pada butiran gabah karena dapat mempengaruhi kualitas gabah.
Gabah yang sudah disimpan jika akan digiling diangin-anginkan terlebih dahulu sebelum digiling untuk menghindari butir beras pecah.

PENUTUP
Sekali lagi PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah bukan bersifat teknologi tetapi merupakan suatu pendekatan inovatif dalam usaha meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam usaha usaha tani padi.
Pada prinsipnya PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) lebih bersifat spesifik lokasi dan partisipatif sehingga semua teknis yang telah diuraikan di atas tidak harus mutlak untuk diterapkan di seluruh daerah. Petani di tiap-tiap dengan didampingi tenaga teknis dari instansi terkait dapat memilih sendiri komponen teknologi yang sesuai dengan kemampuan dan kondisi lingkungan setempat.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah diterapkan dalam upaya meningkatkan produktivitas tanaman padi dengan menerapkan efisiensi dan efektifitas dalam usaha tani padi sawah dengan memperhatikan sumber daya alam, kearifan lokal dan kelestarian lingkungan hidup.
Akhirnya supaya penerapan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) dalam budidaya padi sawah dan usaha tani lainnya dapat berjalan dengan baik dan benar maka diperlukan kerjasama dan bimbingan yang intensif dari semua pihak yang terkait demi terwujudnya peningkatan produksi beras nasional dalam menunjang ketahanan pangan dan swasembada beras pada khususnya.
Sumber http://sekarmadjapahit.wordpress.com/2012/04/29/ptt-padi-sawah/

Sabtu, Desember 28, 2013

MENUJU PARADIGMA BARU PERTANIAN INDONESIA



Sungguh sangat tragis nasib petani di negara agraris Indonesia, karena nasibnya justru sangat menyedihkan.
Saat ini sekitar 60% kemiskinan di Indonesia berada di pedesaan, dan lebih dari 70% kemiskinan pedesaan tersebut terkait dengan pertanian. Pertanian telah merupakan way of life dan sumber kehidupan bagi sebagian besar masyarakat kita, namun, masyarakat masih mempunyai paradigma pola pikir lama yang melihat pertanian hanyalah urusan bercocok tanam yang sekedar hanya menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi sendiri. Untuk itu, perlu terobosan pemikiran dan langkah baru bahwa pertanian mempunyai multi-fungsi yang belum dan perlu mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat dan pemerintah. Pertanian harus mampu sebagai pemasok utama sandang, pangan, dan papan bagi kehidupan seluruh makluk hidup di dunia ini; juga sebagai konservasi lingkungan hidup alami yang berkelanjutan, penyedia keindahan lingkungan (wisata-agro), penghasil bio-farmaka dan penghasil bio-energi. Pertanian juga harus dibangun dengan menghilangkan ego-sektoral, sehingga harus dikembangkan secara harmonis dan sinergis dengan penggunaan lahan untuk berbagai sektor kehidupan dalam satu kesatuan lancape ecology management. Untuk itu, pengembangan integrated bio-cycle farming system (IBFS, sistem pertanian berbasis siklus bahan organik terpadu) diharapkan menjadi salah satu sistem pertanian alternatif bagi pengejewantahan RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY Juni 2005 lalu.
Sebenarnya, produktivitas biomassa di wilayah tropika tergolong tertinggi di dunia, meskipun tanah tropika tergolong tua dan miskin hara serta tanpa pemupukan apapun. Bahkan Koes Plus sempat mendendangkan lagu bahwa tanah kita adalah tanah surga, sehingga tongkat, kayu dan batupun bisa jadi tanaman, meskipun ternyata tidak mempunyai nilai ekonomi tinggi. Dengan strategi, teknologi dan pengelolaan yang tepat, maka wilayah tropika pasti akan dapat mempunyai produktivitas biomassa sekaligus produktivitas ekonomi yang sangat tinggi.
Selama ini, usaha pertanian relatif dapat berproduksi dengan baik dan berkelanjutan apabila ada asupan energi yang besar, dan kadang harus lebih berorientasi secara ekonomi dibanding untuk keberlanjutan ekosistem. Model pertanian berbasis siklus bahan organik terpadu (IBFS) adalah sistem pertanian alternatif yang memadukan secara harmonis dan sinergis antara sektor pertanian (pertanian, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dsb) dengan non-pertanian (pemukiman, agro-industri, wisata, industri dsb) yang dikelola berdasarkan landscape ecological management dalam satu kesatuan wilayah terpadu (Agropolitan). Pra-model Integrated farming dikembangkan oleh KP4 UGM dengan beberapa kajian lebih mendalam melalui: ICM (Integrated Crop Management atau Pengelolaan tanaman terpadu), INM (Integrated Nutrient Management atau pengelolaan hara terpadu), IPM (Integrated Pest Management atau pengelolaan hama terpadu) dan IMM (Integrated Soil Moisture Management atau pengelolaan air terpadu). Diharapkan kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang petani berupa pangan, sandang dan papan akan tercukupi dengan sistem pertanian berbasis siklus bahan organik terpadu ini. Pemanfaatan dan pengelolaan limbah organik dalam digester terbuka dan tertutup menjadi pupuk organik, bio-fertilizer dan bio-energi melalui ‘fertigation’ (fertilization & irrigation, pemupukan dan pengairan) diharapkan mampu meningkatkan produktivitas lahan, nilai ekonomi dan kualitas lingkungan.
Pemanfaatan lahan secara harmonis, menyeluruh (holistic) dan terpadu (integrated) serta berkelanjutan (sustainable) untuk berbagai peruntukan, yaitu: (i) produksi biomassa (sektor pertanian), (ii) lingkungan hidup (iii) konservasi genetik. (iv) ruang infra-stuktur, (v) sumber daya alam (pertambangan), dan (vi) estetika dan budaya, merupakan ciri utama dalam sistem IBFS. Masing-masing anasir bentang lahan tentu saja tidak boleh lagi saling menonjolkan kepentingan sektoral sendiri saja namun harus saling berkaitan dan mendukung secara harmonis dan sinergis. Output dan outcomes sistem lebih diutamakan dibandingkan keluaran masing-masing anasir pembentuknya.
Dekomposisi limbah bahan organik, baik yang berasal dari sektor pertanian maupun non-pertanian (industri pertanian, rumah tangga, RS dsb) oleh mikro-organisme merupakan roh utama bagi siklus kehidupan selanjutnya. Upaya pengelolaan siklus bahan organik untuk keberlanjutan kehidupan di bumi merupakan suatu tindakan pelestarian alam dan kehidupan kita semua, karena sumber kehidupan kita ternyata berasal dari anasir kehidupan sebelumnya. Seluruh makluk bisa tetap hidup karena mengkonsumsi makanan yang merupakan unsur-unsur yang berasal dari kehidupan (tanaman maupun hewan). Limbah bahan organik seharusnya bukan menjadi problem bagi masyarakat tetapi justru harus bisa memberi manfaat yang besar bagi kehidupan kita semua. Sistem IBFS sangat menekankan agar seluruh limbah bahan organik harus dikurangi (reduce), dipakai lagi (reuse) dan didaur ulang (recycle) sehingga pemanfaatan lebih lanjut bagi seluruh ekosistem menjadi lebih baik. Konsep pertanian back to nature ini nampaknya diperlukan untuk mendongkrak nasib pertanian Indonesia yang belum bisa mensejahterakan umatnya. IBFS diharapkan mampu memberikan keuntungan tambahan bagi petani kecil, menengah dan besar, melalui daur ulang limbah organik menjadi sumber daya terbarukan sehingga menghasilkan produksi yang bernilai tinggi dan berwawasan lingkungan secara berkelanjutan.
Untuk mendukung sistem pertanian berbasis siklus bahan organik terpadu, maka peran mikro, meso dan makro-organisme secara biokimiawi dalam siklus hara dan peningkatan produktivitas lahan sangat penting. Penuis membuktikan bahwa kemampuan alami mineralisasi N dalam tanah pertahunnya adalah 3-5 kali lipat dibanding yang tersedia di dalam tanah, sedangkan penggunaan tanaman legum telah mampu menyuplai N sebanyak 9-27 kali lipatnya. Pemanfaatan ilmu genetika dan bio-nanoteknologi (ukuran sepermilyar meter) yang merupakan artificial & functional biotechnology lebih lanjut akan sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan paradigma baru pertanian Indonesia
Salah satu permasalahan besar dalam pertanian adalah penanganan pasca panen dan harga jual komoditi pertanian yang merugikan petani. Petani juga harus difasilitasi agar bisa memproduksi komoditi unggulan dan diluar musim panen. Proses penanganan pasca panen HI-TOUCH, baik yang sederhana sampai yang canggih harus menjadi landasan utama bagi petani sehingga mampu menambah nilai jual dan ruang lingkup maupun skala penjualan.
Untuk mendukung paradigma baru pertanian Indonesia, maka sinergisme antar departemen, antar bidang, antar wilayah dan antar pelaku dalam jaringan MUPI (Masyarakat, Universitas, Pemerintah, Industri) harus lebih diutamakan. Selanjutnya, pendekatan fungsional juga harus lebih dikedepankan dibandingkan dengan pendekatan struktural yang selama ini diberlakukan. Untuk itu, petugas fungsional harus lebih diperdayakan. Program yang dijalankanpun, adalah sinergisme dan pertemuan kebutuhan atas dan bawah, bukan hanya melulu top-down ataupun bottom up saja. Untuk itu, local wisdom harus menjadi pertimbangan utama dalam penentuan program di daerah.
Program produksi 10 juta ton beras pada tahun ini tentunya perlu didukung dengan sistem pertanian yang sesuai. Dengan demikian, pengejawahan paradigma baru dalam pembangunan pertanian kita berupa perbaikan kondisi, strategi, regulasi, implementasi, teknologi, manajemen, kelembagaan dsb, diharapkan akan mampu memperbaiki seluruh aspek dan sendi kehidupan yang terlibat dalam pertanian, bukan sekedar target beras nasional atau janji politis pemerintah saja. Akankah nasib pertanian dan petani Indonesia akan membaik?
Informasi Penulis:
Dr. Ir. Cahyono Agus, M.Sc http://kp4.ugm.ac.id/?p=39