Sungguh sangat tragis nasib petani di negara agraris Indonesia, karena nasibnya justru sangat menyedihkan.
Saat ini sekitar 60% kemiskinan di Indonesia berada di pedesaan, dan lebih dari 70% kemiskinan pedesaan tersebut terkait dengan pertanian. Pertanian telah merupakan way of life dan sumber kehidupan bagi sebagian besar masyarakat kita, namun, masyarakat masih mempunyai paradigma pola pikir lama yang melihat pertanian hanyalah urusan bercocok tanam yang sekedar hanya menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi sendiri. Untuk itu, perlu terobosan pemikiran dan langkah baru bahwa pertanian mempunyai multi-fungsi yang belum dan perlu mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat dan pemerintah. Pertanian harus mampu sebagai pemasok utama sandang, pangan, dan papan bagi kehidupan seluruh makluk hidup di dunia ini; juga sebagai konservasi lingkungan hidup alami yang berkelanjutan, penyedia keindahan lingkungan (wisata-agro), penghasil bio-farmaka dan penghasil bio-energi. Pertanian juga harus dibangun dengan menghilangkan ego-sektoral, sehingga harus dikembangkan secara harmonis dan sinergis dengan penggunaan lahan untuk berbagai sektor kehidupan dalam satu kesatuan lancape ecology management. Untuk itu, pengembangan integrated bio-cycle farming system (IBFS, sistem pertanian berbasis siklus bahan organik terpadu) diharapkan menjadi salah satu sistem pertanian alternatif bagi pengejewantahan RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY Juni 2005 lalu.
Sebenarnya, produktivitas
biomassa di wilayah tropika tergolong tertinggi di dunia, meskipun tanah
tropika tergolong tua dan miskin hara serta tanpa pemupukan apapun. Bahkan Koes
Plus sempat mendendangkan lagu bahwa tanah kita adalah tanah surga, sehingga tongkat,
kayu dan batupun bisa jadi tanaman, meskipun ternyata tidak mempunyai nilai
ekonomi tinggi. Dengan strategi, teknologi dan pengelolaan yang tepat, maka
wilayah tropika pasti akan dapat mempunyai produktivitas biomassa sekaligus
produktivitas ekonomi yang sangat tinggi.
Selama ini, usaha pertanian
relatif dapat berproduksi dengan baik dan berkelanjutan apabila ada asupan
energi yang besar, dan kadang harus lebih berorientasi secara ekonomi dibanding
untuk keberlanjutan ekosistem. Model pertanian berbasis siklus bahan organik
terpadu (IBFS) adalah sistem pertanian alternatif yang memadukan secara
harmonis dan sinergis antara sektor pertanian (pertanian, hortikultura,
perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dsb) dengan non-pertanian
(pemukiman, agro-industri, wisata, industri dsb) yang dikelola berdasarkan
landscape ecological management dalam satu kesatuan wilayah terpadu
(Agropolitan). Pra-model Integrated farming dikembangkan oleh KP4 UGM dengan
beberapa kajian lebih mendalam melalui: ICM (Integrated Crop Management atau
Pengelolaan tanaman terpadu), INM (Integrated Nutrient Management atau
pengelolaan hara terpadu), IPM (Integrated Pest Management atau pengelolaan
hama terpadu) dan IMM (Integrated Soil Moisture Management atau pengelolaan air
terpadu). Diharapkan kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang petani
berupa pangan, sandang dan papan akan tercukupi dengan sistem pertanian
berbasis siklus bahan organik terpadu ini. Pemanfaatan dan pengelolaan limbah
organik dalam digester terbuka dan tertutup menjadi pupuk organik,
bio-fertilizer dan bio-energi melalui ‘fertigation’ (fertilization &
irrigation, pemupukan dan pengairan) diharapkan mampu meningkatkan
produktivitas lahan, nilai ekonomi dan kualitas lingkungan.
Pemanfaatan lahan secara harmonis,
menyeluruh (holistic) dan terpadu (integrated) serta berkelanjutan
(sustainable) untuk berbagai peruntukan, yaitu: (i) produksi biomassa (sektor
pertanian), (ii) lingkungan hidup (iii) konservasi genetik. (iv) ruang
infra-stuktur, (v) sumber daya alam (pertambangan), dan (vi) estetika dan
budaya, merupakan ciri utama dalam sistem IBFS. Masing-masing anasir bentang
lahan tentu saja tidak boleh lagi saling menonjolkan kepentingan sektoral
sendiri saja namun harus saling berkaitan dan mendukung secara harmonis dan
sinergis. Output dan outcomes sistem lebih diutamakan dibandingkan keluaran
masing-masing anasir pembentuknya.
Dekomposisi limbah bahan
organik, baik yang berasal dari sektor pertanian maupun non-pertanian (industri
pertanian, rumah tangga, RS dsb) oleh mikro-organisme merupakan roh utama bagi
siklus kehidupan selanjutnya. Upaya pengelolaan siklus bahan organik untuk
keberlanjutan kehidupan di bumi merupakan suatu tindakan pelestarian alam dan
kehidupan kita semua, karena sumber kehidupan kita ternyata berasal dari anasir
kehidupan sebelumnya. Seluruh makluk bisa tetap hidup karena mengkonsumsi
makanan yang merupakan unsur-unsur yang berasal dari kehidupan (tanaman maupun
hewan). Limbah bahan organik seharusnya bukan menjadi problem bagi masyarakat
tetapi justru harus bisa memberi manfaat yang besar bagi kehidupan kita semua.
Sistem IBFS sangat menekankan agar seluruh limbah bahan organik harus dikurangi
(reduce), dipakai lagi (reuse) dan didaur ulang (recycle) sehingga pemanfaatan
lebih lanjut bagi seluruh ekosistem menjadi lebih baik. Konsep pertanian back
to nature ini nampaknya diperlukan untuk mendongkrak nasib pertanian Indonesia
yang belum bisa mensejahterakan umatnya. IBFS diharapkan mampu memberikan
keuntungan tambahan bagi petani kecil, menengah dan besar, melalui daur ulang
limbah organik menjadi sumber daya terbarukan sehingga menghasilkan produksi
yang bernilai tinggi dan berwawasan lingkungan secara berkelanjutan.
Untuk mendukung sistem
pertanian berbasis siklus bahan organik terpadu, maka peran mikro, meso dan
makro-organisme secara biokimiawi dalam siklus hara dan peningkatan
produktivitas lahan sangat penting. Penuis membuktikan bahwa kemampuan alami
mineralisasi N dalam tanah pertahunnya adalah 3-5 kali lipat dibanding yang
tersedia di dalam tanah, sedangkan penggunaan tanaman legum telah mampu
menyuplai N sebanyak 9-27 kali lipatnya. Pemanfaatan ilmu genetika dan
bio-nanoteknologi (ukuran sepermilyar meter) yang merupakan artificial &
functional biotechnology lebih lanjut akan sangat diperlukan untuk mendukung
keberhasilan paradigma baru pertanian Indonesia
Salah satu permasalahan besar
dalam pertanian adalah penanganan pasca panen dan harga jual komoditi pertanian
yang merugikan petani. Petani juga harus difasilitasi agar bisa memproduksi
komoditi unggulan dan diluar musim panen. Proses penanganan pasca panen
HI-TOUCH, baik yang sederhana sampai yang canggih harus menjadi landasan utama
bagi petani sehingga mampu menambah nilai jual dan ruang lingkup maupun skala
penjualan.
Untuk mendukung paradigma
baru pertanian Indonesia, maka sinergisme antar departemen, antar bidang, antar
wilayah dan antar pelaku dalam jaringan MUPI (Masyarakat, Universitas,
Pemerintah, Industri) harus lebih diutamakan. Selanjutnya, pendekatan
fungsional juga harus lebih dikedepankan dibandingkan dengan pendekatan
struktural yang selama ini diberlakukan. Untuk itu, petugas fungsional harus
lebih diperdayakan. Program yang dijalankanpun, adalah sinergisme dan pertemuan
kebutuhan atas dan bawah, bukan hanya melulu top-down ataupun bottom up saja.
Untuk itu, local wisdom harus menjadi pertimbangan utama dalam penentuan
program di daerah.
Program produksi 10 juta ton beras
pada tahun ini tentunya perlu didukung dengan sistem pertanian yang sesuai.
Dengan demikian, pengejawahan paradigma baru dalam pembangunan pertanian kita
berupa perbaikan kondisi, strategi, regulasi, implementasi, teknologi,
manajemen, kelembagaan dsb, diharapkan akan mampu memperbaiki seluruh aspek dan
sendi kehidupan yang terlibat dalam pertanian, bukan sekedar target beras
nasional atau janji politis pemerintah saja. Akankah nasib pertanian dan petani
Indonesia akan membaik?
Informasi Penulis:
Dr.
Ir. Cahyono Agus, M.Sc http://kp4.ugm.ac.id/?p=39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar