Sabtu, Desember 28, 2013

MENUJU PARADIGMA BARU PERTANIAN INDONESIA



Sungguh sangat tragis nasib petani di negara agraris Indonesia, karena nasibnya justru sangat menyedihkan.
Saat ini sekitar 60% kemiskinan di Indonesia berada di pedesaan, dan lebih dari 70% kemiskinan pedesaan tersebut terkait dengan pertanian. Pertanian telah merupakan way of life dan sumber kehidupan bagi sebagian besar masyarakat kita, namun, masyarakat masih mempunyai paradigma pola pikir lama yang melihat pertanian hanyalah urusan bercocok tanam yang sekedar hanya menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi sendiri. Untuk itu, perlu terobosan pemikiran dan langkah baru bahwa pertanian mempunyai multi-fungsi yang belum dan perlu mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat dan pemerintah. Pertanian harus mampu sebagai pemasok utama sandang, pangan, dan papan bagi kehidupan seluruh makluk hidup di dunia ini; juga sebagai konservasi lingkungan hidup alami yang berkelanjutan, penyedia keindahan lingkungan (wisata-agro), penghasil bio-farmaka dan penghasil bio-energi. Pertanian juga harus dibangun dengan menghilangkan ego-sektoral, sehingga harus dikembangkan secara harmonis dan sinergis dengan penggunaan lahan untuk berbagai sektor kehidupan dalam satu kesatuan lancape ecology management. Untuk itu, pengembangan integrated bio-cycle farming system (IBFS, sistem pertanian berbasis siklus bahan organik terpadu) diharapkan menjadi salah satu sistem pertanian alternatif bagi pengejewantahan RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY Juni 2005 lalu.
Sebenarnya, produktivitas biomassa di wilayah tropika tergolong tertinggi di dunia, meskipun tanah tropika tergolong tua dan miskin hara serta tanpa pemupukan apapun. Bahkan Koes Plus sempat mendendangkan lagu bahwa tanah kita adalah tanah surga, sehingga tongkat, kayu dan batupun bisa jadi tanaman, meskipun ternyata tidak mempunyai nilai ekonomi tinggi. Dengan strategi, teknologi dan pengelolaan yang tepat, maka wilayah tropika pasti akan dapat mempunyai produktivitas biomassa sekaligus produktivitas ekonomi yang sangat tinggi.
Selama ini, usaha pertanian relatif dapat berproduksi dengan baik dan berkelanjutan apabila ada asupan energi yang besar, dan kadang harus lebih berorientasi secara ekonomi dibanding untuk keberlanjutan ekosistem. Model pertanian berbasis siklus bahan organik terpadu (IBFS) adalah sistem pertanian alternatif yang memadukan secara harmonis dan sinergis antara sektor pertanian (pertanian, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dsb) dengan non-pertanian (pemukiman, agro-industri, wisata, industri dsb) yang dikelola berdasarkan landscape ecological management dalam satu kesatuan wilayah terpadu (Agropolitan). Pra-model Integrated farming dikembangkan oleh KP4 UGM dengan beberapa kajian lebih mendalam melalui: ICM (Integrated Crop Management atau Pengelolaan tanaman terpadu), INM (Integrated Nutrient Management atau pengelolaan hara terpadu), IPM (Integrated Pest Management atau pengelolaan hama terpadu) dan IMM (Integrated Soil Moisture Management atau pengelolaan air terpadu). Diharapkan kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang petani berupa pangan, sandang dan papan akan tercukupi dengan sistem pertanian berbasis siklus bahan organik terpadu ini. Pemanfaatan dan pengelolaan limbah organik dalam digester terbuka dan tertutup menjadi pupuk organik, bio-fertilizer dan bio-energi melalui ‘fertigation’ (fertilization & irrigation, pemupukan dan pengairan) diharapkan mampu meningkatkan produktivitas lahan, nilai ekonomi dan kualitas lingkungan.
Pemanfaatan lahan secara harmonis, menyeluruh (holistic) dan terpadu (integrated) serta berkelanjutan (sustainable) untuk berbagai peruntukan, yaitu: (i) produksi biomassa (sektor pertanian), (ii) lingkungan hidup (iii) konservasi genetik. (iv) ruang infra-stuktur, (v) sumber daya alam (pertambangan), dan (vi) estetika dan budaya, merupakan ciri utama dalam sistem IBFS. Masing-masing anasir bentang lahan tentu saja tidak boleh lagi saling menonjolkan kepentingan sektoral sendiri saja namun harus saling berkaitan dan mendukung secara harmonis dan sinergis. Output dan outcomes sistem lebih diutamakan dibandingkan keluaran masing-masing anasir pembentuknya.
Dekomposisi limbah bahan organik, baik yang berasal dari sektor pertanian maupun non-pertanian (industri pertanian, rumah tangga, RS dsb) oleh mikro-organisme merupakan roh utama bagi siklus kehidupan selanjutnya. Upaya pengelolaan siklus bahan organik untuk keberlanjutan kehidupan di bumi merupakan suatu tindakan pelestarian alam dan kehidupan kita semua, karena sumber kehidupan kita ternyata berasal dari anasir kehidupan sebelumnya. Seluruh makluk bisa tetap hidup karena mengkonsumsi makanan yang merupakan unsur-unsur yang berasal dari kehidupan (tanaman maupun hewan). Limbah bahan organik seharusnya bukan menjadi problem bagi masyarakat tetapi justru harus bisa memberi manfaat yang besar bagi kehidupan kita semua. Sistem IBFS sangat menekankan agar seluruh limbah bahan organik harus dikurangi (reduce), dipakai lagi (reuse) dan didaur ulang (recycle) sehingga pemanfaatan lebih lanjut bagi seluruh ekosistem menjadi lebih baik. Konsep pertanian back to nature ini nampaknya diperlukan untuk mendongkrak nasib pertanian Indonesia yang belum bisa mensejahterakan umatnya. IBFS diharapkan mampu memberikan keuntungan tambahan bagi petani kecil, menengah dan besar, melalui daur ulang limbah organik menjadi sumber daya terbarukan sehingga menghasilkan produksi yang bernilai tinggi dan berwawasan lingkungan secara berkelanjutan.
Untuk mendukung sistem pertanian berbasis siklus bahan organik terpadu, maka peran mikro, meso dan makro-organisme secara biokimiawi dalam siklus hara dan peningkatan produktivitas lahan sangat penting. Penuis membuktikan bahwa kemampuan alami mineralisasi N dalam tanah pertahunnya adalah 3-5 kali lipat dibanding yang tersedia di dalam tanah, sedangkan penggunaan tanaman legum telah mampu menyuplai N sebanyak 9-27 kali lipatnya. Pemanfaatan ilmu genetika dan bio-nanoteknologi (ukuran sepermilyar meter) yang merupakan artificial & functional biotechnology lebih lanjut akan sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan paradigma baru pertanian Indonesia
Salah satu permasalahan besar dalam pertanian adalah penanganan pasca panen dan harga jual komoditi pertanian yang merugikan petani. Petani juga harus difasilitasi agar bisa memproduksi komoditi unggulan dan diluar musim panen. Proses penanganan pasca panen HI-TOUCH, baik yang sederhana sampai yang canggih harus menjadi landasan utama bagi petani sehingga mampu menambah nilai jual dan ruang lingkup maupun skala penjualan.
Untuk mendukung paradigma baru pertanian Indonesia, maka sinergisme antar departemen, antar bidang, antar wilayah dan antar pelaku dalam jaringan MUPI (Masyarakat, Universitas, Pemerintah, Industri) harus lebih diutamakan. Selanjutnya, pendekatan fungsional juga harus lebih dikedepankan dibandingkan dengan pendekatan struktural yang selama ini diberlakukan. Untuk itu, petugas fungsional harus lebih diperdayakan. Program yang dijalankanpun, adalah sinergisme dan pertemuan kebutuhan atas dan bawah, bukan hanya melulu top-down ataupun bottom up saja. Untuk itu, local wisdom harus menjadi pertimbangan utama dalam penentuan program di daerah.
Program produksi 10 juta ton beras pada tahun ini tentunya perlu didukung dengan sistem pertanian yang sesuai. Dengan demikian, pengejawahan paradigma baru dalam pembangunan pertanian kita berupa perbaikan kondisi, strategi, regulasi, implementasi, teknologi, manajemen, kelembagaan dsb, diharapkan akan mampu memperbaiki seluruh aspek dan sendi kehidupan yang terlibat dalam pertanian, bukan sekedar target beras nasional atau janji politis pemerintah saja. Akankah nasib pertanian dan petani Indonesia akan membaik?
Informasi Penulis:
Dr. Ir. Cahyono Agus, M.Sc http://kp4.ugm.ac.id/?p=39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar