Rabu, Februari 03, 2010

Pemuliaan Tanaman Dan Biologi Molekuler

PEMULIAAN TANAMAN DAN BIOLOGI

Revolusi hijau ( green revolution ) yang dikumandangkan 1960 yang ditandai dengan perbaikan bercocok tanam seperti penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk yang sesuai pemberantasan hama dan penyakit yang lebih intensif serta berbagai tindakan lainnya, memungkinkan peningkatan produksi pangan yang berasal dari tanaman pangan diseluruh dunia meningkat. Indonesiapun tidak ketingalan menyongsongnya. Sehingga tahun 1984 oleh Food and Agriculture Organization (FAO) Indonesia diakui telah berswasembada beras berkat jasa revolusi hijau. Dengan demikian pada saat itu kekhawatiran akan terjadi krisis pangan khususnya di Indonesia sebagai akibat tidak seimbangnya antara bahan makanan pokok dengan jumlah penduduk dapat diatasi.

Akibat dari pembangunan yang sangat pesat di berbagai bidang dalam beberapa tahun kemudian, lambat laun faktor-faktor produksi pertanian seperti lahan produktif semakin banyak terkonversi menjadi lahan non pertanian. Brown and Kane, 1994 melaporkan bahwa di seluruh dunia terdapat kecenderungan akan terjadi drastisnya penurunan produksi padi-padian disebabkan semakin mengecilnya lahan yang tersedia untuk aktivitas pertanian perorang sekitar 0,24 hektar, namun lahan tersebut hampir separonya ( 0,12 hektar ) pada tahun 1993 dan diperkirakan hanya akan tinggal seluas 0,8 hektar pada tahun 2030. Di sisi lain ternyata kecenderungan pertambahan penduduk yang terus meningkat.

Pada tahun 2030 diperkirakan bahwa penduduk dunia mencapai 8 milyar atau meningkat sebesar 2 milyar dari populasi sekarang. Di Indonesia sendiri diperkirakan pada tahun 2010 penduduk mencapai 245,71 juta jiwa atau bertambah sebesar 33.78 juta jiwa dari sekarang. Pada saat itu kebutuhan beras diperkirakan 36,42 juta ton, padahal produksi hanya 29,42 juta ton. Sehingga defisit produksi mencapai 6,72 juta ton.

Dari data diatas, Indonesia diperkirakan akan mengalami krisis pangan yang secara langsung dapat mengganggu ketahanan pangan nasional. Dan selanjutnya akan mengganggu stabilitas negara. Oleh karena itu peningkatan produksi pertanian perlu terus diupayakan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk.

Peningkatan produksi pertanian dapat dilakukan melalui program ekstensifikasi, intensifikasi dan diversifikasi. Tanah atau lahan yang subur terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara itu lahan yang dapat ditanam di Pulau Jawa dari tahun ke tahun semakin berkurang dengan pengurangan kurang lebih 50.000 ha tiap tahun. Pada umumnya lahan pertanian berubah fungsi menjadi pemukiman, jalan dan industri.

Dengan demikian arah perluasan areal tanam adalah keluar Pulau Jawa. Tanah atau lahan di luar Pulau Jawa kondisinya tidak sebaik di Pulau Jawa. Pada umumnya merupakan lahan kering golongan Podsolik Merah Kuning, tanah rawa pasang surut dan tanah gambut.

Agar program ekstensifikasi dapat terlaksana dengan baik pada lahan – lahan di luar Pulau Jawa tersebut yang kurang menguntungkan atau sub optimal, maka diperlukan varietas – varietas yang mampu beradaptasi pada lahan marginal tersebut. Keracunan alumunium, besi, pH rendah, dan kekeringan adalah kendala yang umum terjadi pada sebagian besar lahan ekstensifikasi di luar Pulau Jawa.

Selain itu terdapat kendala biotik seperti hama dan penyakit, karena diperlukan varietas unggul baru secara sinambung untuk mengantisipasi ancaman biotipe dan ras baru dari hama dan penyakit. Varietas seperti ini hanya dapat diperoleh melalui persilangan genetik antar kerabat jauh. Hal ini sulit teralisasi dengan cara konvgensional sehingga unutk mengatasinya diperlukan terobosan – terobosan baru berupa pemanfaatan biologi molekuler ( gene revolution ).

Ruang Lingkup Pemuliaan Konvensional ( Selektif ) dan Rekayasa Genetika

Banyak pakar memandang rekayasa genetika secara sederhana sebagai kelanjutan dari teknik pemuliaan konvensional karena kedua teknik itu pada dasarnya bertujuan untuk menggabungkan materi genetika dari sumber yang berbeda untuk menggabungkan materi genetika dari sumber yang berbeda untuk menghasilkan organisme yang memiliki sifat-sifat baru yang berguna. Meskipun pada dasarnya rekayasa genetika dan pemuliaan konvensional memiliki kesamaan. Namun kedua teknik itu juga memiliki perbedaan – perbedaan penting.

Parameter Pemuliaan konvensional Rekayasa Genetika tingkat organisme utuh sel atau molekul ketepatan sekumpulan gen satu tunggal kepastian perubahan genetika sulit atau perubahan bahan tidak mungkin dikarakterisasi genetika dapat dikarakterisasi dengan baik batasan taksonomi hanya dapat dipakai dalam tidak ada batasan suatu spesies atau satu genus taksonomi. Dalam rekayasa genetika, kita memindahkan satu gen tunggal yang fungsinya sudah diketahui dengan jelas, sedangkan pada umumnya yang dipindahkan berupa kumpulan gen, meskipun dalam metode pemuliaan tanaman ada metode silang balik ( back cross ) yang tujuannya mentransfer satu gen sehingga diperoleh galur isogenik. Dengan meningkatkan ketepatan dan kepastian manipulasi genetika, maka resiko untuk menghasilkan organisme dengan sifat – sifat yang tidak diharapkan dapat diminimumkan . Model uji coba (trial-and-error) dalam pemuliaan selektif dapat dibuat menjadi lebih tepat melalui rekayasa genetika.

Pemuliaan konvensional mengawinkan organisme dari satu spesies, dari spesies yang berbeda, atau kadang-kadang dari genus yang berbeda. Dalam rekayasa genetika sudah tidak ada lagi hambatan taksonomi. Manipulasi genetika tidak lagi terbatas pada sekelompok kecil variasi genetika. Bila kita inginkan suatu bahan genetika untuk disisipkan pada satu organisme, maka tidak lagi menjadi masalah seberapa jauh hubungan kekerabatan organisme pemilik bahan genetika tersebut. Sebagai contoh gen penyandi antibodi dari manusia dapat dipindahkan ke tanaman tembakau sehingga kita dapat memanen antibodi bukan dari hewan percobaan, yang sering kali kurang disukai oleh kelompok pecinta binatang, tetapi langsung dari ekstrak daun tembakau. Kemampuan memindahkan gen dari satu organisme ke organisme lain tanpa batasan taksonomi memungkinkan kita memanfaatkan sumber daya alam yang luar biasa, yaitu keragaman hayati ( biodiversity ). Tentu saja semua usaha itu dapat dilakukan dengan dampak yang minimal bila kita mau belajar dari kearifan proses – proses biologi yang mendasari keragaman tersebut.

Pemuliaan Tanaman dan Biologi Molekuler

Pemuliaan tanaman konvensional menggunakan hasil observasi fenotipe, kadang –kadang didukung oleh statistika yang rumit dalam menyeleksi individu unggul dalam populasi pemuliaan. Namun demikian, tugas ini terkesan sulit karena kerumitan genetik dari sebagian besar sifat-sifat agronomi dan adanya interaksi yang kuat dengan faktor lingkungan.

Oleh karena itu pemuliaan tanaman di masa mendatang akan lebih mengarah kepada penggunaan tehnik dan metodologi pemuliaan molekular dengan menggunakan penanda genetik. Dengan penggunaan “ pemuliaan molekuler “ ini telah menjanjikan kesederhanaan terhadap kendala dan tantangan tersebut. Seleksi tidak langsung dengan menggunakan penanda molekuler yang terikat dengan sifat-sifat yang diinginkan telah memungkinkan studi individu pada tahap pertumbuhan dini, mengurangi permasalahan yang berkaitan dengan seleksi sifat-sifat ganda dan ketidaktepatan pengukuran akibat ekspresi sifat yang disebabkan oleh faktor eksternal lokus genetik ganda.

Selanjutnya dengan kemajuan iptek di bidang teknologi molekuler telah memberikan peluang untuk mengatasi keterbatasan itu, dimana beberapa aspek mikro dalam pemuliaan dapat diketahui dan dilakukan, antara lain : (1) identifikasi dan penentuan letak gen; (2) pemindahan gen tak terbatas; (3) peningkatan pemahaman proses genetik dan fisiologi tanaman; (4) perbaikan diagnosis penyakit dengan metode molekuler ; (5) pengaturan produksi protein pada tanaman serealia dan kacang – kacangan untuk meningkatkan gizi; (6) memudahkan dalam menghasilkan dan menyeleksi tanaman tahan hama, penyakit dan cekaman lingkungan; serta (7) memungkinkan dilakukannya transformasi, konstruksi, dan ekspresi genetik melalui teknologi DNA.

Pedekatan Biologi Molekuler untuk Mengatasi Krisis Pangan

Usaha yang dilakukan unutk menanggulangi krisis pangan di Indonesia dengan pendekatan biologi molekuler, antara lain dengan merakit tanaman yang reastin terhadap serangan hama dan penyakit, serta toleran terhadp cekaman lingkungan ( salin, kekeringan dan keracunan Al ).

Dengan berhasilnya rekayas genetika melalui metode kloning DNA, memungkinkan gen tunggal dari suatu spesies mahluk hidup dimasukkan ke dalam gen dari spesies mahluk hidup lainnya. Teknologi memanipulasi DNA yang dikerjakan dengan pencangkokan ( kloning ) tanpa melalui perkawinan disebut moleculair cloning atau recombinant DNA technology. Rekayasa genetika dalam bidang tanaman dilakukan dengan mentransfer gen asing ke dalam tanaman. Hasil rekayasa genetika pada tanaman seperti ini disebut tanaman transgenik. Sudah diperoleh beberapa tanaman trangenik yang toleran terhadap salinitas, kekeringan dan hama penyakit.

Tanaman Transgenik Toleran Salin

Dengan teknologi kultur jaringan telah dapat dikembangkan tanaman transgenik toleran salin. Rekayasa genetika mentransfer gen dari padi liar yang toleran terhadap salin ke padi biasa digunakan sebagai bahan pangan melalui fusi protoplasma. Dapat juga ditransfer dari sejenis jamur yang tahan salin kepada tanaman transgenik. Beberapa tomat, melon dan barley transgenik yang toleran dengan salin.

Tanaman Transgenik Tahan Kekeringan

Tanaman tahan kekeringan memiliki akar yang sanggup menembus tanah kering, kutikula yang tebal mengurangi kehilangan air, dan kesanggupan menyesuaikan diri dengan garam di dalam sel. Tanaman toleran terhadap kekeringan ditransfer dari gen kapang yang mengeluarkan enzim trehalose. Tembakau salah satu tanaman transgenik yang dapat toleran dengan suasana kekeringan.

Tanaman Transgenik Resisten Hama

Bacillus thuringiensis menghasilkan protein toksin sewaktu terjadi sporulasi atau saat bakteri membentuk spora. Dalam bentuk spora berat toksin 20 % dari berat badan spora. Apabila larva insek memakan spora maka di dalam alat pencernaan larva insek, spora bakteri dipecah dan keluarlah toksin. Toksin masuk ke dalam membran sel alat pencernaan larva, mengakibatkan alat pencernaan mengalami paralisis, pakan tidak dapat diserap sehingga larva mati. Dengan membiakkan Bacillus thuringiensis kemudian diekstrak dan dimurnikan maka akan diperoleh insektisida biologis ( biopestisida ) dalam bentuk kristal. Insektisida biologis serupa saja aplikasinya maupun untung ruginya dengan insektisida kimia lainnya. Oleh karena itu, pada tahun 1985 dimulai rekayasa gen dari Bacillus thuringiensis dengan kode gen Bt toksin.

Kloning Bt toksin dibedakan menjadi empat golongan besar : gen cryl spesipik untuk moths dan kupu-kupu; gen cryl khusus untuk lepidoptera ( kupu-kupu ), diptera ( lalat ), dan kumbang ( coleoptera ) ; serta gen cryl untuk diptera. Bt toksin gen merupakan gen tungal. Tanaman tembakau untuk pertama kali merupakan tanaman transgenik pertama yang menggunakan gen Bt toksin, disusul famili tembakau, yaitu tomat dan kentang. Dengan sinar ultraviolet gen penghasil insektisida pada tanaman dapat diinaktifkan.

Jagung juga telah direkayasa dengan menggunakan gen Bt toksin, tetapi diintegrasikan dengan plasmid bakteri Salmonella parathypi, yang menghasilkan gen yang menonaktifkan ampicilin. Pada jagung juga direkayasa adanya resistensi herbisida dan resistensi insektisida sehingga tanaman transgenik jagung memiliki berbagai jenis resistensi hama tanaman. Bt toksin gen juga direkayasa ke tanaman kapas bahkan multiple – gen dapat direkayasa genetika pada tanaman trangenik. Toksin yang diproduksi dengan tanaman transgenik menjadi nonaktif apabila terkena sinar matahari, khususnya sinar ultra violet.

Sejumlah tanaman transgenik toksin Bt telah berhasil diproduksi, antara lain kapas ( Bt toksin terhadap cutton boll worm, produksi Monsanto, St. Lis, Missouri, Amerika Serikat; kini diuji coba secara terbatas di Sulawesi Selatan ), kentang ( Bt toksin terhadap Colorado bettle, produksi Mycogen, San Diego, California, Amerika Serikat ), jagung ( Bt toksin terhadap penggerek batang European, produksi Ciba Seed, Greensboro, California Utara, Amerika Serikat.

Tanaman Transgenik Resisten Penyakit

Dalam percobaan kloning “Bintje” yang mengandung gen thionin dari daun barli (DB4) yang memakai prometer 35S cauliflower mosaic virus ( CaMV ), dengan mengikutsertakan Bintje tipe liar yang sangat peka terhadap serangan Phytophthora infestans sebagai kontrol, menunjukkan bahwa klon “Bintje” dapat mengekspresikan gen DB4. Jumlah sporangium setiap nekrosa yang disebabkan oleh P. infestans mengalami penurunan lebih dari 55 % jika dibandingkan dengan tipe liar. Pendekatan ini sangat bermanfaat untuk menekan perkembangbiakan P. Infestans sehingga kerugian secara ekonomi dapat direduksi.

Perkembangan yang mengembirakan juga terjadi pada usaha untuk memproduksi tanaman transgenik yang bebas dari serangan virus. Dengan memasukkan gen penyandi protein terselubung ( coat protein ) Johnsongrass Mosaic Potyvirus ( JGMV ) ke dalam suatu tanaman diharapkanj tanaman tersebut menjadi resisten apabila diserang oleh virus yang bersangkutan. Potongan cDNA dari JGMV, misalnya dari protein selubung dan protein nuclear inclusion body ( Nib ) dengan kontrol promotor 35S CaMV, mampu diintegrasikan pada tanaman jagung dan diharapkan jagung transgenik yang bebas dari serangan virus.

Hal serupa juga sedang digalakkan dengan rekayasa genetika pada tanaman padi-padian untuk mendapatkan varietas yang resisten terhadap virus padi. Di samping itu, usaha untuk meningkatkan kwalitas beras seperti yang diinginkan oleh manusia juga sedang diusakan. Jepang memberikan investasi yang cukup besar untuk penelitian dan pengembangan di bidang biologi molekul padi.

Virus JGMV adalah virus yang asam nukleatnya berupa utas tunggal RNA dengan panjang 9.7 kilo basa (kb), virus ini menyerang tanaman yang tergolong dalam famili Graminae, seperti jagung dan sorgum yang menimbulkan kerugian secara ekonomi cukup besar. Gejala yang ditimbulkan dapat diamati pada daun mosaik, nekrosa, atau kombinasi keduanya. Akibat serangan virus ini, kerugian para petani dapat sangat tinggi atau bahkan tidak panen sama sekali. Pada tahun 1960-an Departemen of Primary Industry di Queensland telah mengembangbiakkan suatu jenis sorgum baru yang berasal dari India yang resisten terhadap virus JGMV tipe liar ( JGMV-Jg ). Sorgum tersebut diberi nama Sorgum Krish dan dipercayai mempunyai gen resisten N yang tahan terhadap serangan JGMV-Jg. Percobaan ini menghasilkan beberapa galur Sorgum Krish ( misal QL 12 ) yang resisten terhadap JGMV-Jg dan telah disebarkan kepada petani dan memberikan keuntungan. Tetapi pada tahun 1985, di Queensland telah ditemukan galur virus baru yang mampu menginfeksi Sorgum Krish yang mengandung gen resisten. Akibat munculnya galur virus baru ini, kerugian yang dialami pemerintah negara bagian Queensland-Australia demikian besar.

Untuk membuktikan apakah benar bahwa gen penyandi protein selubung virus dari galur baru tersebut bertanggung jawab terhadap penghancuran Sorgum Krish, usaha untuk mengonstruksi suatu jenis virus baru dengan jalan “swapping gene” CP dari kedua galur virus JGMV di atas dilakukan unutk mendapatkan virus rekombinan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan gen CP dari JGMV-Jg dalam urutan lengkap cDNA-nya, kemudian disisipkan gen CP dari JGMV Krish-infecting strain sehingga hasil konstruksi ini akan mendapatkan virus rekombinan dengan seluruh susunan genomnya ( 9.7 kb ) terdiri atas cDNA JGMV-Jg, tetapi gen CP-nya telah diganti dengan JGMV Krish-infecting strain.

Uji infeksi dari virus rekombinan tersebut secara in vitro pada inang Sorgum Krish dan sorgum kontrol menunjukkan bahwa infeksi terjadi di kedua inang, sedangkan pada JGMV-Jg yang disintesis secara invitro tidak mampu menginfeksi sorgum Krish. Ternyata gen CPJGMV Krish-infecting strain ikut bertanggung jawab terhadap penghancuran sorgum Krish.Ini berarti bahwa dengan pendekatan biologi molekul, masa depan untuk membuat tanaman sorgum atau jagung transgenik dengan menyisipkan CP JGMV Krish-infecting strain ke genom tanaman terbuka dan diharapkan dapat membantu mengutasi masalah penyakit virus.

Pada tahun 1986 kelompok peneliti Roger Beachy menunjukkan bahwa tanaman tembakau transgenik yang mengekspresikan protein mantel tobacco mosaic virus (TMV) terlindungi dari infeksi TMV. Begitu pula pada biji-biji labu kuning transgenik dengan protein mantel virus memberikan proteksi terhadap water melon mosaic virus 2 (dua) dan Zucchini yellow mosaic virus telah banyak dijual di Amerika Serikat. Tehnik merupakan piranti handal dalam perbaikan tanaman, khususnya tanaman seperti kentang, yang diperbanyak secara vegetatif, dimana penyakit virus dapat ditransmisikan dari tahun ke tahun melalui material pertanaman vegetatif.

Beberapa tanaman transgenik yang meliputi tanaman pangan dan industri telah dikembangkan dan sedang diteliti di Indonesia.

KESIMPULAN

Dari usulan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Dengan memanfaatkan tanaman transgenik secara selektif kita dapat memanfaatkan semua lahan marginal menjadi produktif, sehingga kurangnya sumber daya lahan tidak menjadi kendala.

2. Dengan asumsi potensi lahan yang masih sangat luas tentu dapat menjamin kontinuitas produksi dari tanaman pangan jangka panjang.

3. Bahwa pendekatan biologi molekul cukup menjanjikan penyelesaian yang tuntas dan tepat sasaran dalam menghadapi masalah pangan di Indonesia. Oleh karena itu kiranya tidak berlebihan apabila usaha awal untuk merakit tanaman transgenik di negara kita ini perlu dilakukan supaya resiko yang bakal berdampak negatif pada manusia ataupun lingkungan dapat dikurangi. Kearifan dan tanggung jawab moral yang sangat tinggi merupakan salah satu modal utama dalam menekuni bidang rekayasa genetika ini.

4. Perlu ditingkatkan kemampuan sumber daya manusia di Indonesia dalam hal rekayasa genetika, agar ketergantungan akan bibit tanaman transgenik tidak terjadi.


Sumber :Khairunnisa Lubis, USU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar